Minggu, Desember 22, 2024
31.3 C
Jakarta

Umat Katolik Cigugur dan sekitarnya jalani agama dengan tetap menerapkan kearifan lokal

Paseban

Bulan September telah berlalu, namun saat itu ada peringatan tahunan menurut Kalender Sunda dirayakan oleh masyarakat penganut Agama Djawa Sunda (ADS) atau Sunda Wiwitan yang dikenal sebagai Cara Kahurun Urang (tradisi nenek moyang) yakni Seren Taun.

Agama yang dikembangkan oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan, menetapkan 22 Rayagung menurut kalender Sunda, yang sembilan hari lebih pendek dari Kalender Kristen dan tahun ini jatuh 14 September 2017, sebagai hari raya Seren Taun. Acara itu diperingati di Paseban Tri Panca Tunggal, rumah peninggalan Kiai Madrais yang didirikan tahun 1860 dan kini dihuni oleh Pangeran Djatikusuma.

Namun ternyata, Seren Taun tidak hanya dirayakan oleh umat Sunda Wiwitan tetapi juga umat Katolik di Cigugur dan sekitarnya. Bahkan banyak umat Katolik tidak hanya ikut merayakan tapi menjadi panitia pelaksana Seren Taun. Di samping itu, di malam menjelang 22 Rayagung, umat Paroki Cigugur dan Stasi  Cisantana merayakan Misa di gerejanya.

Menurut Pastor Yohanes Cantius Abukasman OSC, di tahun 1964, ayah Pangeran Djatikusuma yakni Pangeran Tedjabuana membubarkan ADS karena kebijakan pemerintahan yang saat itu hanya mengakui lima agama di Indonesia: Islam, Protestan, Katolik, Buddha dan Hindu. Pangeran Tedjabuana, orang tua dan saudara kandungnya, serta 7.000 pengikut menjadi Katolik dan aula Paseban digunakan sebagai gereja. Tahun 1976 pemerintah menyatakan aula itu sebagai warisan budaya dan banyak pengikut kembali ke Sunda Wiwitan.

Pastor Abukasman bersama keluarga juga masuk Katolik dan tetap Katolik sampai saat ini. Mantan Kepala Paroki Kristus Raja Cigugur yang baru pindah ke Katedral Bandung itu mengatakan kepada PEN@ Katolik di akhir September bahwa selama di Cigugur, “di malam Seren Taun saya selalu rayakan Misa yang mencerminkan pesta tradisional dengan bahasa, dekorasi, kostum dan ritual Sunda. Bukan mau eksklusif tetapi supaya Keuskupan Bandung, yang hidup di tanah Sunda, tidak menjadi Gereja asing bagi orang Sunda.”

Selama Misa yang dihadiri umat hingga bagian luar, kata Pastor Abukasman, umat menunjukkan banyak nilai tradisional, “dengan bersyukur kepada Tuhan atas apa yang mereka terima, seperti kehidupan, pertanian, panen, dan semua produk pertanian yang mereka persembahkan kepada Allah di depan altar.”

Yang terjadi di Paseban, jelas imam itu, adalah kegiatan budaya, dan di gereja hanya yang liturgis, “sehingga Misa tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Seren Taun, walaupun setelah Misa banyak umat Katolik pergi ke Paseban untuk ikut kegiatan budaya di sana, ” dan “saya juga ke Paseban untuk menjadi pembicara dalam seminar antaragama dan doa bersama umat agama lain.”

Menurut imam itu, dia pun terus memotivasi umat paroki untuk bergabung dan terlibat dalam Seren Taun.  Dalam upacara Seren Taun banyak umat Katolik terlibat, misalnya sebagai penerima tamu, pembawa hasil bumi dalam prosesi, penari, dan pemain musik.

Imam asli Sunda itu mengatakan selalu mendorong umat parokinya untuk menjadi “100 persen Katolik, 100 persen Indonesia, dan 100 persen Sunda,” serta menyarankan umatnya untuk ikut program pemerintah “guna menghidupkan kembali dan memperdalam kearifan lokal yang telah meningkatkan perdamaian dan mempersatukan bangsa.”

Pastor Abukasman mengutip dua contoh kearifan lokal Sunda: “Silih asah, silih asih, silih asuh” (yang mendorong orang untuk saling mengingatkan, saling membimbing dan saling mengasihi) dan “Awak sakujur, batur sakasur, batur sadapur, batur sasumur, batur salembur” (sebuah filosofi persaudaraan yang mengajarkan seseorang untuk memulai pengembangan dari diri sendiri hingga keseluruhan masyarakat karena mereka hidup di tatar yang sama, makan dari sumber yang sama, dan memanfaatkan sumberdaya alam yang sama). “Ini sesuai nilai Injil yang bisa menjadi perekat persatuan nasional, tapi orang cenderung melupakannya,” kata imam itu.

Seren Taun dimulai 17 Rayagung atau 9 September malam dengan arak-arakan obor dan aneka tarian tradisional. Hari itu PEN@ Katolik bertemu Kento Subarman, petani Sunda Wiwitan yang bertindak sebagai anggota panitia penyelenggara Seren Taun, dan dua pemain musik Katolik, Yohanes Sulaeman dan Libertus Badra. Mereka berbagi tentang tema Seren Taun tahun ini, “Memperkokoh adat untuk membangun kesadaran berbangsa.”

Menurut Kento Subarman, “Kita mulai dengan pawai obor, karena manusia yang tidak sempurna dan saling mengasihi mau saling menerangi.” Temanya tepat waktu, tegasnya, “karena kondisi nasional sekarang sedang tercabik-cabik sehingga kehilangan rasa kebangsaan. Tema itu mengajak kita kembali ke adat yang merupakan kodrat Yang Mahakuasa.” Tema, yang diharapkan bukan hanya merubah orang Cigugur tetapi semua warga, diimplementasikan “tidak muluk-muluk tetapi diharapkan mengilhami semua orang yang membaca liputan peristiwa ini,” katanya.

Kento menambahkan, budaya dan pertanian adalah dua hal tak terpisahkan. “Seren Taun adalah syukuran masyarakat agraris yang diharapkan mewujudkan tindakan keseharian untuk membangun kesejahteraan serta ketahanan pangan serta budaya dan keyakinan.”

Yohanes Sulaeman menegaskan, dalam Seren Taun dia lebih nyata merasakan dan melaksanakan yang tertulis dalam Injil. “Kalau dalam Injil itu initial, di sini nyata, saya mampu merasakan,”  katanya seraya menegaskan, seseorang boleh berkeyakinan apa saja, “asal jangan lupakan budaya, rupa dan bahasa.”

Menurut Libertus Badra, agama Katolik mengajarkan umat untuk “mencintai Tuhan Allahmu dengan segala akal budimu. Makna akal budimu dibuktikan secara praktek di sini dengan berbagai seni, berbagai makanan dan budi daya yang kita persembahkan kepada Sang Pencipta.”

Sebagai umat Katolik dia berharap Gaudium Et Spes tidak setengah hati dilaksanakan. Umat Katolik hendaknya menjadi “ragi” yang jelas, dan tidak boleh ada pihak yang mempengaruhi umat untuk tidak ikut perayaan budaya di Paseban itu. “Semoga lebih banyak umat Katolik Cigugur dan dusun-dusun di sekitar berpartisipasi dalam Seren Taun. Jika ada yang tidak beres, mari duduk bersama membahasnya demi kemajuan tradisi ini,” tegasnya. (paul c pati)

Paseban
Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur
Aula yang pernah dipakai sebagai gereja
Aula yang pernah dipakai sebagai gereja
Pawai Obor
Pawai Obor

PasebanSeniTema

Artikel sebelum
Artikel berikut

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini