Tari Maumere membuat pentas seni lintas agama semakin hangat. Malam itu, semua hadirin bergoyang mengikuti gerak para penari. Para tokoh agama pun ikut melenggak-lenggokkan tubuhnya mengikuti irama musik. Umat dari berbagai agama larut dalam kegembiraan.
Itulah gambaran pentas seni lintas agama yang menjadi puncak Peace Train yang dilaksanakan di pelataran Gereja Santa Teresia Bongsari Semarang, 17 September 2017. Peace Train adalah program travelling lintas iman dan lintas negara dengan sarana kereta api. Peserta dari berbagai agama dan kepercayaan bersama-sama mengunjungi komunitas agama, penggerak perdamaian, rumah ibadah, serta tokoh-tokoh toleransi dan perdamaian di kota tujuan.
Selain Tari Maumere yang dibawakan kaum muda Gereja Jemaat Allah Global Indonesia (JAGI), Malam Kesenian Lintas Agama itu diisi penampilan Bengkel Sastra Taman Maluku, “jembrengan batik” dari Komunitas Diajeng Semarang, puisi dari peserta Peace Train, rebana dari Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Gus Dur, tari Bali dari Perhimpunan Pemuda Hindu (Peradah), teater dan akustik dari OMK Bongsari.
Sehari sebelumnya, Persaudaraan Lintas Agama (PELITA) Semarang mendampingi 27 peserta Peace Train untuk belajar kehidupan masyarakat Semarang yang bhinneka dan damai. Mereka berasal dari berbagai agama seperti Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Baha’i, Sikh, Sapta Darma, dan Kapribaden. Dua peserta adalah warga negara Lesotho dan Malawi.
Di hari pertama, rombongan Peace Train secara maraton bersilaturahmi dengan berbagai komunitas religius dan organisasi pegiat kebhinnekaan dan perdamaian di Semarang, seperti Jemaat Ahmadiyah di Masjid Nusrat Jahan, umat Buddha Theravada di Vihara Tanah Putih, umat Kristen Unitarian Indonesia di Gereja JAGI, dan sorenya Parisada Hindu Dharma Indonesia di Pura Girinatha.
Hari kedua, rombongan menyimak paparan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mengenai pantauan terakhir kemerdekaan berkeyakinan dan beragama di Jawa Tengah serta peranserta PELITA Semarang dalam memberi dukungan moral terhadap nasib rakyat, seperti pelestarian Pegunungan Kendeng.
Hari ketiga, rombongan menikmati ibadah di bangunan cagar budaya kebanggaan Semarang, Gereja Blenduk bersama umat GPIB Immanuel, dan Kota Lama Semarang. Menjelang siang, mereka ikut upacara King Hoo Ping di Gedung Rasa Dharma bersama umat Konghucu lalu singgah di Klenteng Tay Kak Sie. Di Sore hari bersilaturahmi ke Gereja Katolik Santo Yusuf Gedangan. Malam kesenian di halaman Gereja Bongsari adalah puncak perjalanan itu.
Program Peace Train digagas oleh Franky Tampubolon, Anick HT, Ahmad Nurcholish, dan Destya Nawriz. “Kami ingin peserta mengalami proses belajar, bekerja bersama, mengelola perbedaan, berkampanye, dan menuliskan pengalaman perjumpaan. Program ini diharapkan bisa rutin dilakukan ke sebanyak mungkin kota di Indonesia yang bisa dijangkau lewat kereta dan melibatkan sebanyak mungkin kaum muda lintas agama,” jelas Frangky.
PELITA, sebagai panitia penyambutan, terdiri dari EIN Institute, Gereja JAGI Jemaat Ahmadiyah, LBH, eLSA, Hikmahbudhi, Komunitas Gusdurian, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (Kom HAK-KAS), Institute of Peace and Security Studies (IPSS), Peace Hub Community, MATAKIN dan Peradah.
Koordinator PELITA Setyawan Budy menegaskan, keunikan dan keragaman adalah rahmat Tuhan. “Keunikan dan keragaman budaya, identitas, suku bangsa, bahasa, juga keyakinan dan agama adalah rahmat dari Sang Pencipta Kehidupan. Walau memiliki pandangan dan keyakinan berbeda, kita dipanggil untuk terus bergandeng tangan, berpegang erat, sebagai sesama musafir kehidupan, di sini, kini. Sebagai warga Republik Indonesia yang kaya akan khazanah suku bangsa dan budaya, kita harus aktif menjaga harmoni dan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara yang kondusif, damai dan humanis, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan golongan dan kepentingan kelompok kita masing-masing. PELITA dengan senang hati bekerja sama dengan pihak mana pun dan menyambut siapa saja yang ingin merawat kebangsaan dan melindungi kebhinnekaan,” kata Setyawan Budy.
Seorang peserta, Johanes Edward Tampubolon senang dengan Peace Train. “Saya merasakan adanya dialog, karena selama ini umat beragama terjebak dalam monolog,” katanya. Sedangkan Estetika Christy Pertiwi Noron mengaku melihat keharmonisan dalam keberagaman. “Kita menemukan satu titik terdalam, di setiap hati seseorang dan di setiap ajaran agama. Yang terdalam itu cuma kasih,” katanya.(Lukas Awi Tristanto)