Jumat, November 22, 2024
33.6 C
Jakarta

Perbedaan peserta AYD tidak memisahkan tapi memancarkan kekayaan kemanusiaan  

Penutupan 1

Dalam Asian Youth Day ke-7 di Yogyakarta, para peserta sebanyak 2140 orang, termasuk 942 dari 21 negara Asia lainnya, menyadari keberbedaan mereka sebagai warga negara yang berbeda, dengan bahasa berbeda, budaya berbeda dan sekian banyak perbedaan lain.

Namun, menurut Ketua Konferensi Waligereja  Indonesia (KW I) Mgr Ignatius Suharyo, “dalam perjumpaan ini kita juga mengalami bahwa keberbedaan itu tidak memisah-misahkan, tetapi sebaliknya, memancarkan kekayaan kemanusiaan yang satu dan membuktikan kekuatan iman, harapan dan kasih yang mempersatukan.”

Mgr Suharyo berbicara dalam homili Misa Penutupan AYD ke-7 yang dihadiri sekitar 21.000 umat, yang terdiri dari peserta, panitia, tamu undangan dan perwakilan umat dari berbagai paroki, di Lapangan Dirgantara Akademi Angkatan Udara (AAU), Sleman, Yogyakarta, 6 Agustus 2017.

Misa itu dipimpin oleh Presiden Federasi Konferensi-Konferensi Waligereja Asia (Federation of Asian Bishops’ Conference, FABC) Oswald Cardinal Grazias. Sebanyak 37 kardinal dan uskup dari Indonesia dan negara-negara Asia lainnya menjadi konselebran. Ratusan imam juga hadir dan ikut membagikan komuni.

Hari Minggu itu adalah Hari Raya Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya. Mgr Suharyo tidak tahu persis apakah ketika menentukan hari-hari AYD, panitia memang merencanakan untuk menutup pertemuan itu pada hari raya itu. “Apa pun halnya, saya yakin bahwa ini adalah penyelenggaraan ilahi, kita diajak merenungkan secara khusus kaitan antara orang muda Asia dengan penampakan kemuliaan Tuhan.

Kaitan itu jelas dalam tema yang ditawarkan pada penutupan AYD yakni “Living and Sharing the Joy of the Gospel” (Menghayati dan Membagikan Sukacita Injil, dengan tujuan agar orang muda memberikan sukacita Injil kepada sesama dalam perjumpaan dengan Tuhan di kehidupan sehari-hari

Menurut Mgr Suharyo, nilai-nilai Injil sungguh dihayati dan kegembiraan dari padanya sungguh dialami, “hidup kita sehari-hari akan menjadi penampakan kemuliaan Tuhan.” Uskup Agung Jakarta mengatakan

Demikian, karena ketika menyiapkan ibadah itu dan membaca kisah Injil mengenai Yesus yang menampakkan kemuliaan-Nya, “yang masuk dalam diri saya adalah kisah mengenai Santa Teresia Benedicta dari Salib. Ia lahir dengan nama Edith Stein (1891-1942), yang melihat dan mengalami kemuliaan Tuhan serta kekuatan-Nya dalam diri temannya. Kisahnya amat menarik.”

Sebagai remaja berusia 14 tahun yang dikaruniai kecerdasan istimewa, demikian Mgr Suharyo bercerita, Edith meskipun lahir dalam keluarga yang amat saleh, sampai pada kesimpulan bahwa Allah tidak ada dan tidak mempunyai alasan lagi untuk percaya, bahkan menulis, “Dengan sadar saya memutuskan, atas kemauan saya sendiri, untuk berhenti berdoa.”

Selanjutnya ia belajar menjadi perawat, untuk membantu korban Perang Dunia pertama. Sesudah itu ia belajar filsafat karena cita-citanya adalah menjadi ahli filsafat. Sampai pada suatu hari, ia berjumpa dengan seorang sahabat yang suaminya baru saja meninggal. Edith yang jiwanya selalu mencari, sangat tersentuh oleh “ketabahan atau daya atau kemuliaan ilahi” yang tampak pada diri temannya itu.

Ia menulis “Inilah pertama kalinya saya berjumpa dengan salib dan daya kekuatan ilahi yang diberikan kepada orang yang memikulnya … inilah saat ketika ketidakpercayaan saya runtuh dan Kristus mulai memancarkan sinar dalam diri saya.”

Singkat cerita, Edith dibaptis tahun 1922 yang dia kenang sebagai pemenuhan kerinduan dan pencariannya yang paling dalam. Selanjutnya, Edith masuk pertapaan Karmel dengan nama Suster Teresa Benedikta dari Salib. Sebagai keturunan Yahudi, dia diangkut ke kamp konsentrasi di Auschwitz, Jerman dan meninggal di kamar gas di sana. Ia mempersatukan penderitaannya dengan penderitaan Kristus sendiri secara sempurna. Tanggal 1 Mei 1987, Paus Yohanes Paulus II menyatakannya sebagai beata. Selanjutnya, 11 Oktober 1998, paus yang sama menyatakannya sebagai santa.

“Perjumpaan Edith Stein dengan temannya yang baru kehilangan suami, saya pahami sebagai saat ketika Kristus menampakkan diri, menampakkan kemuliaan-Nya kepadanya. Penampakan itu terjadi pada saat yang tidak terduga dan dalam peristiwa manusiawi yang dalam arti tertentu amat biasa. Perjumpaan Edith Stein dengan temannya itu membuktikan kebenaran kata-kata Santo Ireneus: Gloria Dei, vivens homo, artinya, kemuliaan Tuhan adalah manusia yang hidup – tentu bukan asal hidup, tetapi hidup yang bermakna. Pengalaman itu mengubah seluruh arah hidupnya: ia bercita-cita menjadi ahli filsafat, tetapi Tuhan menuntunnya menuju kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan kasih melalui jalan salib yang disambutnya dengan sepenuh hati,” cerita Mgr Suharyo.

Agar ceritanya lebih dekat dengan umat Katolik di Indonesia, Mgr Suharyo menceritakan “pengalaman yang lebih sederhana dengan muatan pesan yang serupa” saat berkunjung ke salah satu paroki di saat pastor paroki sedang menguji calon baptis, seorang bapak yang sudah lanjut usia.

Pastor itu bertanya kepadanya, “Mengapa Bapak ingin dibaptis ke dalam Gereja Katolik?” Jawaban yang diharapkan tentu saja adalah seperti yang terdapat dalam katekismus, misalnya “Karena saya percaya bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat dunia.” Kalau jawabannya seperti itu, pasti dia lulus.

Tetapi, di luar dugaan, bapak itu menjawab dengan sangat jujur, “Saya ingin dibaptis, karena saya senang sekali melihat orang Katolik pulang dari gereja.” Jawaban itu tentu mengagetkan pastor penguji itu, karena jawaban seperti itu tidak pernah diajarkan dan tidak ada dalam katekismus.

Pastor bertanya lebih lanjut, “Mengapa umat Katolik yang pulang dari gereja membuat bapak senang?” Jawaban bapak itu, “Mereka kelihatan rukun, bapak, ibu, anak pulang bersama-sama.” Rupanya bapak itu berasal dari latar belakang yang tidak mengenal satu keluarga berangkat ibadah bersama-sama. Kelihatan rukun saja sudah membuat bapak itu tertarik, apalagi kalau sungguh-sungguh rukun.

“Saya yakin, saya tidak salah kalau mengatakan bapak itu melihat ‘kemuliaan Yesus’ dalam keluarga yang pulang dari gereja, yang kelihatan rukun itu. Hal yang samasekali tidak istimewa, sangat biasa tetapi dipakai oleh Tuhan untuk menyatakan kemuliaan-Nya yang mengubah hidup orang,” kata Mgr Suharyo seraya menegaskan bahwa Kemuliaan Tuhan yang mempunyai daya membaharui hidup, terpancar dalam pribadi-pribadi yang bersaudara dan keluarga yang dipersatukan oleh kasih.

Mgr Suharyo berharap semoga perjumpaan dalam Asian Youth Day “mendorong kita semua, baik secara pribadi maupun dalam kebersamaan kaum muda, untuk berusaha menghayati nilai-nilai Injil dengan tekun dan setia. Semoga dengan demikian kepada kita dianugerahkan rahmat kegembiraan karena Injil. Dan semoga dengan demikian hidup kita dapat memancarkan kemuliaan Tuhan, yang mempunyai daya membaharui kehidupan.” (paul c pati)

Penutupann 2

Penutupan 4

Penutupan 6

Penutupan 7

Penutupan 8

]Penutupann 3

Penutupan 11

Penutupan 12

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini