Lima imam diosesan (praja) Keuskupan Manado dan dua imam MSC yang baru ditahbiskan di Gereja Paroki Santo Yohanes Penginjil Laikit, sebuah desa di Kecamatan Dimembe, Sulawesi Utara, 29 April 2017, digambarkan oleh Pastor Albertus Sujoko MSC, seorang doktor teologi dari Universitas Alfonsiana di Roma, sebagai “Lima Roti dan Dua Ikan.”
Kesan itu ditulis Pastor Sujoko saat menulis refleksi tentang tujuh imam baru yang baru itu setelah menghadiri Misa Pertama mereka, 30 April 2017, di Kapel Seminari Pineleng, tempat tujuh imam itu belajar dan tempat Pastor Sujoko mengajar. Ketujuh imam itu ditahbiskan oleh Uskup Manado Mgr Josephus Suwatan MSC, yang pengunduran dirinya sebagai Uskup Manado telah diterima oleh Paus Fransiskus yang kemudian mengangkat Pastor Rolly Untu MSC sebagai penggantinya.
Mereka memang seperti lima roti dan dua ikan. Mereka hanya sedikit, kecil, tidak berarti, tidak cukup, tidak pantas, tidak layak, tidak pandai, tidak sempurna dan itu semua dikatakan oleh mereka sendiri dalam Misa Pertama kemarin sore. Saya sebagai salah satu guru mereka dan mengenal mereka dengan cukup baik juga dalam hati kecil merasa begitu,” tulis refleksi yang dikirim imam itu dalam sebuah milis.
Dalam Misa itu, seorang di antara mereka mengatakan, “kami bertujuh ini sebenarnya tidak layak untuk menjadi imam, kami tidak sempurna, tetapi Tuhan menganggap kami layak dan nanti Tuhan yang menyempurnakannya.”
Imam baru yang lain menambahkan, “Sebenarnya yang menganggap kami cukup layak adalah para dosen dan staf pembina, walaupun mereka tahu kami ini banyak kelemahan dan kekurangan. Kalau mereka menganggap kami tidak layak, pasti kami tidak bisa ditahbiskan. Namun, nanti Tuhanlah yang membantu kami untuk memperbaikinya.”
Waktu angkatan ini masuk tahun 2008, mereka berjumlah 48 orang. Tetapi hanya tujuh orang itu ditahbiskan imam. Memang, teman mereka Pastor Dismas Salettia Pr ditahbiskan tahun lalu dan Frater Stevian Undap masih ditunda tahbisan diakonnya. Jadi mereka sembilan orang. Berarti 39 orang tidak jadi imam.
Seleksi alam, atau seleksi iman, atau seleksi dari staf, atau seleksi dinamika psikis personal, seleksi hormonal, seleksi Tuhan, atau seleksi apa namanya atau bisa diberi nama dengan semua nama seleksi itu, tegas Pastor Sujoko, yang jelas itulah faktanya, dari 48 calon imam mulai tingkat satu, ada tujuh orang yang ditahbiskan. Mungkin dua teman mereka dari Keuskupan Amboina sudah menjadi imam, “Saya belum tahu.”Bersama para dosen lain, Pastor Sujoko duduk di belakang para imam baru. “Saya menikmati perayaan misa pertama anak-anak itu, dari awal ketika masih di Sakristi. Saya bisa melihat mereka masih gugup dan takut-takut. Dan ternyata kemudian mereka mengatakan sendiri bahwa mereka merasa gugup merayakan Misa bersama-sama para dosen mereka yang sudah tua-tua dan berpengalaman.”
Mereka memang takut salah bicara, salah liturgi, ada bagian yang terlewatkan dan seterusnya. “Jadi mereka memang mengakui bahwa mereka gugup dari awal. Namun anehnya, suasana liturgi menjadi sangat khidmat, tenang, mengalir, lancar dan juga meriah, tanpa ada hal yang terlewatkan,” kata imam itu.
Selama Misa, sambil melihat apa yang mereka lakukan, dan mendengarkan apa yang mereka khotbahkan dan sharingkan, “perasaan saya seperti orang tua yang menyaksikan anak-anaknya menikah; atau seperti opa yang menyaksikan cucu-cucunya menikah. Dan saya memang merasakan bahwa anak-anak atau cucu-cucu saya itu membuat saya gembira dan bahagia dengan apa yang mereka ungkapkan ketika mereka kini sudah menjadi imam.”
Mereka sangat bangga dan bahagia sehingga hampir tidak bisa berhenti bicara. “Misa berakhir lama, tetapi saya merasa senang mendengarkan ungkapan hati mereka. Saya merasa terharu bahwa anak-anak itu bisa seperti itu setelah ditahbiskan menjadi imam. Padahal sebelumnya mereka biasa-biasa saja dan ada salah satu yang begitu jelas keterbatasan pengetahuannya sehingga membuat kami tertawa di meja makan kalau membicarakannya. Namun dia justru tampil paling memukau dan mempesona. Yang lain juga tidak kalah memukau dan mempesona.”
Pastor Sujoko mengingat perkataan Felix Lengkong, doktor psikologi klinis yang kini bekerja di Rektorat Unika Atma Jaya, Jakarta, tentang hormon oksitoksin yang semakin banyak dalam diri orang umur 60 tahun yang membuat para opa merasakan kasih sayang lebih besar kepada anak dan cucu.
“Saya mendoakan mereka, saya cemas juga apakah mereka nanti bisa tetap semangat dalam karya pastoral di tempat-tempat yang sulit di pedalaman. Mereka ditempatkan di Papua, Beteleme, Mangaran, Nulion, Poso, dan itu tempat-tempat terpencil dan jauh dari pusat keuskupan. Semoga anak-anak muda itu tetap bersemangat,” harap imam itu.
Sama seperti “Lima Roti dan Dua Ikan” yang menjadi sangat bermanfaat ketika diambil dan diberkati oleh Yesus dari Nazaret, begitu pula lima imam praja dan dua imam MSC itu “akan sangat bermanfaat bagi Gereja dan masyarakat,” tegas Pastor Sujoko.
Imam-imam baru itu: Pastor Troyani Kalengkongan Pr yang banyak menangis waktu ditahbiskan; Pastor Hendro Kandowanko Pr yang tinggi, putih dan cakep; Pastor Frits Karamoy Pr yang gemuk tapi sehat; Pastor Kornel Kupea Pr yang ayahnya sakit stroke sehingga tidak bisa hadir dalam tahbisan; Pastor John Bomba Pr yang pendek, pengetahuan terbatas, tetapi sangat assertif dan semangat tinggi; Pastor Marianus Ada MSC dari Aliuroba, Flores, yang dititipkan tahbisan di Manado, dan yang cukup pandai, “sepertinya lebih besar otaknya daripada hatinya;” dan Pastor Christian Lala MSC yang cakep, pendiam dan pemalu dengan kemampuan intelektual biasa saja, namun baik dan punya tekad yang kuat.
“Itulah kandungan nutrisi dari 5 roti dan 2 ikan, semoga enak rasanya dan pasti kalau sudah diberkati oleh Yesus dan dibagikan kepada 5000 orang, semua akan makan kenyang dan masih sisa 12 bakul penuh,” tulis pastor yang menamakan dirinya Eyang Sujoko Hadiwardoyo MSC. (paul c pati)