Dua orang memasukkan sepasang kaki ke dalam bungkus semen sebagai lambang terbelenggunya rakyat kecil akibat kebijakan pembangunan yang seringkali tidak berpihak pada rakyat. Akhirnya, kedua orang yang kemudian berlakon sebagai burung itu harus mati, karena diburu oleh pihak-pihak yang berteriak-teriak, melambangkan rakyat.
Visualisasi yang ditayangkan oleh Gerakan Rakyat Miskin Kota (Germo) lengkap dengan narasi itu adalah salah satu adegan dalam Angkringan Srawung Silaturahim Seniman Budayawan yang ditayangkan setelah Misa inkulturatif Bali di Ungaran, Semarang.
Pastor Aloys Budi Purnomo Pr, ketua Komisi Hubungan Antargama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (KAS), yang menyelenggarakan acara 25 Maret 2017 itu mengatakan, acara itu diadakan untuk membangun peradaban kasih melalui media perjumpaan budayawan dan seniman. “Dalam rangka mewujudkan peradaban kasih bagi masyarakat yang sejahtera, bermartabat dan beriman apa pun agamanya,” kata imam itu.
Menurut imam KAS itu, pendekatan budaya dan seni relevan dengan cita-cita membangun peradaban kasih yang diwarnai semangat inklusif, maka selain di Semarang, acara itu akan dilangsungkan di Kedu, Yogyakarta dan Surakarta.
Selain Germo dari Semarang, sejumlah seniman dan budayawan menampilkan karyanya. Petikan kecapi Kang Ujang yang kadang bergaya Sunda dan kadang bergaya Jawa juga terdengar. Lagu-lagu “penuh semangat” oleh V-Talent , Geguritan (puisi berbahasa Jawa), tembang-tembang macapat lantunan Ki Broto, serta puisi yang dibacakan Agoes Dhewa, dan tarian sufi menghiasi malam itu.
Budayawan, Ndower, dalam refleksi “yang kental dengan nuansa komedi” mengatakan, budaya dan agama sebetulnya satu alur sejajar. “Kalau negara tidak menghidupi budaya, mesti hancur negara ini,” katanya seraya menegaskan bahwa orang yang paling bisa menanggulangi radikalisme adalah orang berbudaya, orang beragama sesuai kapasitas imannya.
Angkringan diisi pemotongan tumpeng perdamaian. Setelah filosofinya dijelaskan oleh Sutikno dari Padepokan Tosan Aji, tumpeng didoakan oleh Kiai Sentet dengan cara Islam, dan dibagi untuk dimakan bersama-sama.
Pengasuh Pondok Pesantren Al Ishlah Kiai Budi Harjono mengapresiasi acara itu. “Saya merasa ada ruang tanpa duga yang melahirkan kedamaian di antara kita. Sebagaimana menatap langit tanpa bingkai melahirkan keluasan hati,” katanya.
Dia percaya setiap agama melahirkan perdamaian yang mestinya melampaui sekat primordial, dan itulah wajah Indonesia. “Saya memang agak galau atau cemas melihat berita-berita di permukaan media. Tetapi saya yakin bila bertemu pada titik-titik seperti ini, saya seperti menyelam di kedalaman Nusantara. Saya menemukan butiran-butiran mutiara yang tak ternilai harganya. Dan wujudnya adalah cinta yang bersemayam di hati kita,” katanya.
Kiai Budi berharap, angkringan itu terus diupayakan. “Saya yakin upaya Angkringan Silaturahmi ini menjadi model. Nanti kita terapkan di mana-mana. Dan tadi saya sebut bukan meniadakan perbedaan, tapi melampaui perbedaan. Lahirlah cinta di antara kita,” katanya.
Permadi membenarkan, pertemuan itu adalah misteri cinta. “Malam ini adalah misteri. Misteri apa? Misteri cinta!” tegas seniman itu. “Cinta yang menggerakkan kita datang ke sini sampai malam hari, dan cinta yang akan terus menggerakkan kita untuk bisa memahami dan menyelami misteri kehidupan,” katanya.
Satu hal yang harus dimengerti dalam kehidupan ini adalah misteri. “Saya rasa cinta di sini juga tidak bisa dijelaskan karena itu juga misteri. Tapi malam ini kita sama-sama merasakan rasa cinta yang luar biasa,” demikian Permadi.(Lukas Awi Trisanto)