Kardinal Jorge Mario Bergoglio menjadi Paus yang ke-266 Paus tanggal 13 Maret 2013. Gaya rendah hati dan terus terangnya langsung terlihat saat dia mengucapkan kata-kata pertama sebagai Paus: “Buona sera” (Selamat Malam).
Empat tahun berjalan, reformasi Gereja dan Kuria yang dilaksanakannya berjalan terus dengan susah payah, namun ia terus menikmati pujian banyak orang yang setiap hari Rabu bersorak dalam Audiensi Umum mingguan dan setiap penampilan publik. Seruannya untuk belas kasihan dan keterbukaan serta jangkauan pastoralnya terhadap orang terpinggirkan dan orang paling rentan nampak jelas sebagai sifat konstan pelayanannya.
Di masa kepausan Fransiskus tahun lalu, kita merasakan beberapa saat yang tak terlupakan dan menerima beberapa ajaran penting seperti pelukan bersejarah dengan Patriark Kirill dari Ortodoks Rusia di Kuba, doa hening di Auschwitz, kanonisasi Ibu Teresa, perjalanan ekumenis ke Lund untuk menandai ulang tahun ke-500 Reformasi, dan penerbitan Seruan Apostolik “Amoris Laetitia.”
Bersama Alessandro Gisotti dari Radio Vatikan, Sekretaris Negara Kardinal Pietro Parolin, salah seorang teman kerja terdekat Paus Fransiskus, melihat kembali apa yang terjadi di tahun silam. Mereka memulai dengan sapaan unik “buona sera” yang digunakan Uskup Roma yang baru itu dalam menyapa umatnya seraya meminta doa mereka. Jadi paus baru itu tidak hanya mempercayakan dirinya kepada Tuhan, tetapi kepada “umat Allah yang kudus.”
Langsung menjadi jelas, kata Kardinal Parolin, bahwa visinya tentang Gereja yang keluar, berjalan bersama-sama – gembala dan kawanan – yang dipercayakan kepada doa dan kepada kasih karunia serta belas kasih Allah, akan menjadi karakteristik-karakteristik penting Pontifikat yang baru itu. Sifat itu diperkuat oleh Bergoglio dengan pilihan nama “Fransiskus” dan oleh sikapnya yang memancarkan kesederhanaan, kedamaian dan ketenangan.
Kardinal Parolin menyoroti fakta bahwa meskipun Paus Fransiskus terus menghendaki Gereja yang keluar dan yang mampu menemani pria dan wanita yang berada dalam kesulitan dan yang mengalami tantangan hidup sehari-hari, dia sungguh selalu memperhatikan suara dan bimbingan Roh Kudus.
Juga ditunjukkan, meski Yubileum Tahun Belas Kasih sudah berakhir, belas kasih terus menjadi salah satu pilar kepausan Fransiskus. Namun ia menjelaskan, desakan Paus pada belas kasihan tidak berasal dari sensitivitas pribadi, tetapi terfokus pada kasih Allah dan pada misteri keselamatan.
Paus, kata Kardinal Parolin, “sedang mengarahkan kita kepada kasih Allah dan memastikan bahwa Gereja bertindak sebagai saluran kasih itu dan sebagai tempat perjumpaan antara belas kasih Allah dan manusia saat menjalani suka duka kehidupan di bumi.”
Kardinal Parolin juga mengatakan, banyak buah dihasilkan oleh Tahun Belas Kasih termasuk ‘penemuan kembali’ Sakramen Pengakuan Dosa oleh banyak umat Katolik dan perhatian besar pada kemiskinan.
Kardinal itu menggambarkan Seruan Apostolik pasca-sinode “Amoris Laetitia,” sebagai karunia yang sangat mendorong pelayanan pastoral keluarga, dan yang menghasilkan buah pembaharuan, harapan dan pendampingan bagi mereka yang mengalami kerapuhan keluarga.
Kritik terhadap Gereja dan ungkapan perbedaan pendapat juga diungkapkan kardinal itu dengan mengatakan “selalu ada suara-suara kritis dalam Gereja!”
Yang penting, kata kardinal, seperti dikatakan Paus sendiri bahwa kritik-kriik itu “tulus dan konstruktif, dan mau menemukan cara untuk kemajuan bersama dan cara lebih baik agar kehendak Allah terlaksana!”
Kardinal Parolin mengakhiri tanggapannya dengan mengatakan, inti kepausan Paus Fransiskus adalah keinginan untuk terus mereformasi Kuria karena ia percaya bahwa “Gereja harus terus mengupayakan pertobatan, harus berusaha menjadi lebih otentik, menyingkirkan remah-remah yang terakumulasi dalam berabad-abad sejarah dan bersinar keluar dengan transparansi Injil.” (paul c pati berdasarkan Radio Vatikan)