Jumat, November 22, 2024
31 C
Jakarta

Para uskup Filipina serukan agar pemerintah dan pemberontak lakukan pembicaraan baru

Foto dari GMA News Online
Foto dari GMA News Online

Kelompok ekumene meminta Presiden Duterte untuk menunjukkan tekad bernegosiasi karena itulah ‘satu-satunya cara’ untuk mengakhiri konflik, tulis Joe Torres, wartawan La Croix International dari Manila, Filipina, ketika melaporkan imbauan uskup-uskup dari berbagai denominasi agama di Filipina,  agar pemerintah dan pemberontak komunis kembali ke meja perundingan untuk mengakhiri konflik yang sudah berlangsung hampir lima dasawarsa.

Presiden Rodrigo Duterte membatalkan pembicaraan damai menyusul bentrokan antara tentara pemerintah dan pejuang pemberontak di saat gencatan senjata sedang berlaku. Militer dan pemberontak saling menuduh melanggar gencatan senjata masing-masing.

Maka, dalam imbauan 17 Februari 2017 itu, para uskup mengatakan bahwa pembicaraan damai, yang telah mencapai putaran ketiga negosiasi formal, sudah “produktif dan positif” karena kedua belah pihak “tetap memprioritaskan agenda substantif dan menempatkan proses perdamaian pada jalur yang benar.”

Para anggota Forum Para Uskup Ekumene, sebuah organisasi para prelatus Katolik dan Protestan, ingin mengakui upaya Presiden Duterte dalam membuka jalan bagi perdamaian, bahkan mereka sudah berdoa bagi presiden agar “memperlihatkan ketetapan hati dan bisa membujuk pemerintahannya, terutama sektor keamanan, untuk membangun jalan menuju perdamaian yang adil dan abadi.”

Pernyataan yang ditandatangani Uskup Katolik Mgr Deogracias Iniguez, uskup Protestan Elmer Bolocon, dan Uskup Felixberto Calang dari Gereja Independen Filipina itu menyerukan kepada Presiden Duterte agar menyadari bahwa  “penyelesaian akar konflik bersenjata melalui pembicaraan damai masih merupakan cara yang pantas dilanjutkan.”

Meskipun dia merasa sudah berjalan jauh, lanjut pernyataan itu, “namun kami mengajak dia untuk berjalan lebih jauh lagi bersama kami di jalan yang benar menuju perdamaian.” Presiden pun diajak untuk sadar bahwa “membiarkan para penghasut menang berarti membiarkan kelangsungan status quo.”

Para prelatus mengatakan, pembicaraan damai adalah “pilihan yang masuk akal” untuk mengatasi hambatan-hambatan menuju perdamaian, yang “dapat dilaksanakan dengan atau tanpa gencatan senjata.” Itu pun, lanjutnya, “akan mengatasi alasan-alasan historis dan mengakar dari konflik bersenjata.”

Mereka pun menawarkan bantuan untuk berjalan sedikit lagi menuju perdamaian. “Kami dapat mengatasi gemuruh perang dan mendukung kedua belah pihak saat mereka menegosiasikan rintangan apa pun di meja perundingan damai,” kata para uskup.

Berbagai kelompok perdamaian dan hak asasi manusia berkumpul di Manila 17 Februari 2017 untuk menghimbau kelanjutan pembicaraan. Kelompok-kelompok itu menyerang “perang habis-habisan” yang dilancarkan oleh militer setelah Duterte menghentikan pembicaraan.

“Perang habis-habisan ditakdirkan gagal seperti halnya yang diluncurkan pemerintah masa lalu,” kata Renato Reyes, sekretaris jenderal kelompok aktivis New Patriotic Alliance, seraya menegaskan bahwa “Pendekatan militer hanya membuat perlawanan lebih sengit.”

Reyes mengatakan bahwa perundingan perdamaian serius tenang reformasi sosial-ekonomi, politik dan konstitusional merupakan kesempatan yang lebih baik untuk mengakhiri konflik bersenjata daripada melancarkan perang habis-habisan yang akan ditolak orang.

Sementara itu, negosiator perdamaian yang utama dari pemerintah, Silvestre Bello mengatakan, baik pemerintah dan pemberontak harus mencari cara untuk kembali ke meja perundingan. “Kebangetan  kalau tidak bahwa orang Filipina tidak suka sesama orang Filipina saling membunuh,” kata Bello, seraya menambahkan bahwa apa yang telah dicapai dalam tiga putaran pembicaraan terakhir di Belanda dan di Italia mungkin hanya akan sia-sia.

Negosiasi-negosiasi formal antara pemerintah dan Front Demokratik Nasional Filipina yang dipimpin komunis dibuka di Norwegia Agustus 2016 setelah penangguhan bertahun-tahun. Pemberontakan komunis di negara itu dimulai tahun 1960 dan dianggap sebagai salah satu yang terpanjang di dunia dan diperkirakan telah menewaskan sebanyak 40.000 jiwa.(pcp berdasarkan La Croix International)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini