Oleh Pastor Albertus Sujoko MSC
Di sebuah grup MSC, seorang imam memposting laporan Kapitel MSC di Perancis yang menggambarkan bahwa panggilan di Eropa sudah mati. Sudah 30 tahun terakhir tidak ada calon MSC dari Perancis dan Swiss. “Di mana biarawan bisa ditemukan?” Pertanyaan itu ditanyakan di wilayah yang dulu sangat kristiani (Katolik) dan dulu memiliki begitu banyak biara serta gereja. Kalau di Eropa ada religius dan imam, maka mereka berasal dari Asia, Afrika, atau Amerika Latin yang diutus bermisi di Eropa.
Yang juga mengejutkan dalam pertemuan itu, ada pembicara yang mengatakan bahwa untuk menjadi seminaris atau calon biarawan harus dibaptis lebih dulu. Pernyataan itu sangat aneh, karena seharusnya sudah jelas dengan sendirinya bahwa kalau mau masuk biara ya sudah dibaptis. Namun pernyataan itu menunjukkan bahwa mungkin banyak anak dari keluarga Katolik yang sudah lama tidak ke gereja Mereka juga tidak pernah dibaptis, tidak pernah diajari Tanda Salib, doa Bapa Kami dan Salam Maria. Mereka tidak pernah diajak pergi ke gereja.
Namun, kalau anak itu kemudian menjadi dewasa dan merenungkan hidupnya, lalu bertanya: Apa artinya hidup saya ini? Saya ini berasal dari mana dan menuju ke mana? Kalau nanti saya tua dan mati lalu bagaimana? Kalau pertanyaan-pertanyaan itu menghantar dia masuk dalam pengalaman rohani pribadi dan kemudian ingin menjadi biarawan atau imam, padahal ia belum dibaptis, tentu ia harus dibaptis dulu.
Kalau semakin banyak umat Katolik KTP, tentu saja panggilan menjadi imam dan hidup membiara menjadi sebuah mimpi dan cita-cita di siang bolong. Doa-doa saleh dari segelintir umat Katolik itu bagaikan teriakan orang di padang gurun yang tidak pernah mendapatkan jawaban apapun.
Krisis panggilan di Eropa tentu berkaitan dengan suasana hidup keluarga-keluarga, masyarakat dan umat di paroki-paroki. Kalau di dalam lembaga-lembaga sosial itu tidak ada suasana yang mengkondisikan anak-anak muda untuk tertarik menjadi imam atau biarawan, maka tentu saja institusi imamat dan biarawan akan tinggal menjadi kenangan.
Tarekat-tarekat internasional berusaha membuat komunitas-komunitas internasional di Eropa dengan harapan bisa membuat pastoral kehadiran saja, sehingga bisa memberikan tanda bahwa masih ada sisa-sisa kehidupan tarekat misionaris dari Eropa yang di tempat asalnya sendiri sudah hampir punah.
Saya sebut saja sebagai contoh, tarekat MSC saya sendiri. Bila anggota MSC Belanda, Perancis, Italia, Jerman, Spanyol sudah tua- tua semua dan sudah meninggal, maka rumah-rumah biara MSC itu kalau mau dipertahankan harus diisi anggota MSC dari Indonesia, Filipina, Afrika dan Amerika Latin. Tetapi mereka mungkin tidak bisa lagi mengkatolikkan masyarakat Eropa, mereka hanya berpastoral kehadiran untuk menjadi tanda bahwa tarekat itu masih eksis di daerah-daerah misi tempat para misionaris Eropa dulu pergi.
Sekarang saya ingin kembali ke realitas panggilan di tempat yang saya lihat, Manado. Kemarin saya rekoleksi persiapan kaul kekal dengan delapan frater tingkat lima. Ada sembilan frater MSC tingkat enam yang sudah kaul kekal tahun lalu. Jumlah frater praja Manado dan Ambon masih 100 lebih. Namun, kalau mulai tingkat lima dan enam, jumlah mereka tinggal sedikit. Tingkat enam praja Manado hanya tiga orang; tingkat lima praja Manado hanya lima orang.
Jumlah di Pondok Emaus ada 54 orang waktu masuk, dan di Seminari Menengah Kakaskasen masih ada 130 anak. Ini perlu menjadi perhatian para uskup, karena panggilan hanya banyak di tahun awal, tetapi menjadi sedikit di tahun akhir. 80 persen keluar dan 20 persen bertahan.
Kemarin kebetulan saya mendapat informasi dari seorang frater lulusan Seminari Menengah Kakaskasen yang pulang pastoral dari Ecuador dan calon kaul kekal. Dia mengatakan, dari 60 anak waktu di Seminari Kakaskasen tingkat awal (quarta), kini tinggal tiga orang saja, satu MSC, dan dua praja Manado. Meskipun demikian, masih ada saja yang masuk seminari dan berusaha bertahan, sehingga biarpun banyak sekali yang keluar, namun masih ada sisa-sisanya yang akhirnya ditahbiskan.
Angkatan MSC yang tahun lalu ditahbiskan kebetulan sangat unik. Jumlahnya sembilan orang. Tiga orang di pembinaan, tiga orang di luar negeri, serta tiga di paroki.
Saya sebagai iman dan biarawan yang sudah berumur, sudah punya “kenangan” atau “ingatan” sejarah pribadi tentang misteri panggilan Tuhan dan juga mendapat banyak kesempatan untuk mendengarkan kisah tentang misteri panggilan Tuhan melalui sharing pribadi dan bimbingan rohani para frater.
Kemarin, ketika mensyukuri hari ulang tahun, saya mendapatkan hadiah paling indah dari delapan frater MSC calon kaul kekal yang memberikan dirinya, membagikan pengalaman hidupnya atau “mewahyukan” pribadinya dan rela diketahui oleh teman-temannya “bagaimana ceritanya” merasa dipanggil Tuhan, sudah menjalaninya sampai sekarang dan ingin mengajukan permohonan kaul kekal. Karena kaul kekal berarti akan menjadi calon tahbisan diakon dan kemudian tahbisan imam.
Kebetulan ada inspirasi yang bagus dari bukunya Henri Nouwen yang diterjemahkan dan diberi kata pengantar oleh Mgr Ignatius Suharyo dengan judul aslinya: Life of the Beloved (Hidup orang yang dikasihi).
Ada empat kata kunci yang bisa menjadi pola untuk merenungkan misteri panggilan: diambil, diberkati, dipecah-pecahkan, dan dibagi-bagikan. Kita diambil, dikhususkan, diistimewakan, disendirikan, ditarik keluar dari lingkungan hidup dan keluarga dan dibawa oleh Tuhan ke tempat yang akan ditunjukkan Tuhan kepada kita.
Kita bukan hanya diambil, melainkan juga dilengkapi dengan talenta dan semua hal yang dibutuhkan dalam pendidikan dan pembinaan panggilan. Kemudian, hidup kita akan dipecah-pecahkan, ditarik ke kiri dan ke kanan untuk melakukan tugas ini dan itu sehingga waktu, tenaga, pikiran, tubuh, dipakai dengan baik, dan dibagi-bagikan kepada sesama dalam banyak bentuk karya pelayanan.
Sebenarnya spiritualitas ekaristis itu berlaku untuk semua umat Kristiani yang sudah dibaptis dan menjadi murid Yesus, tetapi secara lebih khusus bisa diterapkan pula dalam hidup panggilan religius dan imamat.
Sebagai orang yang mulai tua yang sudah cukup lama dalam panggilan dan merasakan sendiri kerapuhan dan kelemahan-kelemahan manusiawi dalam menghayati kaul-kaul, maka seperti Yesus menatap mata pemuda kaya itu dengan belas kasih, demikian pula saya menatap mata para konfrater muda itu dengan kasih karena mendengarkan kesaksian pengalaman misteri panggilan mereka yang unik, khas, khusus seolah-olah hanya diperuntukkan bagi diri mereka masing-masing dan tidak bisa berlaku untuk orang lain.
Memang begitulah misteri panggilan. Tetapi, begitu jugalah isteri hidup itu sendiri. Bukan hanya panggilan adalah misteri, melainkan hidup kita ini juga sebuah misteri. Seperti Tuhan Allah juga sebuah misteri. (Kalimat terakhir ini saya kutib dari bukunya Pastor Albertus Purnomo OFM, Bertarung dengan Allah, Kanisius, 2015, hlm. 15 – 16).***