“Kita kidungkan lestarinya Kendeng melalui doa dan sembahyang kita. Tuhan memberkati ibu pertiwi yang sudah memberi. Jika ibu pertiwi disakiti sampai diobok-obok isinya, alam menjadi rusak. Air menjadi keruh dan kotor, dan berbau. Sungai-sungai kotor tidak bisa untuk berenang kembali. Sawah-sawah terancam tidak bisa panen.”
Dan saksofon pun ditiup oleh Delegatus Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (Komisi HAK KAS) Pastor Aloys Budi Purnomo Pr sambil menyanyikan sebuah lagu dalam acara brokohan (selamatan) bersama Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dan tokoh-tokoh lintas agama di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, 4 Januari 2017.
Juga ditegaskan bahwa apa yang mereka perjuangkan bukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, namun demi kesejahteraan Jawa Tengah, bahkan sampai seluruh Nusantara.
Pastor Budi mengajak masyarakat yang berkumpul siang itu, selain berdoa untuk kelestarian bumi, juga berdoa untuk gubernur Jawa Tengah supaya mematuhi putusan hukum.
Gunretno, salah seorang tokoh JMPPK menjelaskan, maksud diadakannya brokohan adalah untuk mendoakan kelestarian ibu bumi dan mendoakan Pak Ganjar (Ganjar Pranowo) “supaya tidak takut untuk memutuskan sikap menjalankan putusan Mahkamah Agung yaitu mencabut izin pendirian industri semen di Rembang.”
Brokohan diikuti oleh masyarakat yang menolak pendirian pabrik semen dari sekitar Rembang, para tokoh dari berbagai agama, para mahasiswa, pecinta lingkungan hidup, dan para seniman.
Para tokoh agama menyampaikan harapannya agar izin pendirian pabrik seman di Rembang dicabut. KH Nuril Arifin Husein atau biasa disapa Gus Nuril dari Pondok Pesantren Soko Tunggal berharap Gubernur Jawa Tengah betul-betul melaksanakan amanat penderitaan rakyat dengan mencabut izin pendirian pabrik semen, terlebih ketika Mahkamah Agung sudah memenangkan tuntutan rakyat berupa penolakan pabrik semen demi kelestarian alam.
Sedangkan KH Imam Aziz mengatakan, Pegunungan Kendeng bukanlah semata-mata pegunungan purba yang berisi batu-batu karst, “tapi adalah pegunungan di mana di situ ada manusia, di situ ada kebudayaan yang hidup, di situ ada masyarakat yang terus menerus berusaha untuk menghidupi dan hidup di dalam pegunungan Kendeng.”
Tidak seperti gunung di mana tidak ada orangnya, lanjutnya, “Di situ banyak orang, di situ hidup kebudayaan bahkan peradaban. Oleh karena itu, Kendeng tidak akan pernah kita lepaskan kepada siapapun. Termasuk kepada investor yang namanya pabrik semen, entah itu mereknya apa saja.”
Brokohan itu diisi dengan pembacaan puisi, lagu-lagu dan pelantunan doa menurut tradisi agama masing-masing, lalu diakhiri dengan upacara makan bersama.(Lukas Awi Tristanto)