29.9 C
Jakarta
Friday, April 19, 2024

Pastor van Paassen MSC minta “serba putih” karena kematian itu “mulia, suci, harus disyukuri”

BERITA LAIN

More

    pastor-jan-van-paassen-msc2

    Tanggal 25 Maret 1964 seorang misionaris dari Belanda mendarat di Bandara Sam Ratulangi, Manado, dalam usia 33 tahun. Tapi, tidak ada seorang pun menjemputnya. Dia pun melihat ke kiri dan kanan tanpa tahu harus ke mana. Untunglah seseorang dari Jawa yang bekerja di kantor gubernur Sulawesi Utara menyapa dan bertanya, “Pastor mau ke mana?” Dia menjawab, “Saya mau ke Gereja Katolik.” Orang Muslim itu menjawab, “Mari ikut saya saja, saya tahu Gereja Katolik.”

    Setelah sampai di tempat, ternyata itu Gereja GMIM Centrum Manado. Pastor berkata, “Bukan ini …!” Orang itu menjawab, “Oh, saya tahu ada satu gereja lain lagi. Tenang saja. Saya antar ke sana.” Benar, mereka menuju gereja katedral di Jalan Sam Ratulangi.

    Di depan pastoran yang sekarang rumah Uskup Manado, misionaris bernama Pastor Johannes Wilhelmus van Paassen MSC, yang akrab dipanggil JvP, melihat Pastor Piet Smouth MSC dan berteriak: “Itu dia!” Sayang sekali JvP sudah lupa nama orang Jawa, yang mengizinkan dia naik mobil dari seorang penting di kantor gubernur, demikian cerita Ketua Program Imamat untuk Frater MSC di Seminari Hati Kudus Pineleng Pastor Albertus Sujoko MSC dalam sebuah milis.

    Hari-hari ini nama imam kelahiran Den Hoorn Z.H., Belanda, 14 Mei 1931, itu terdengar luas di wilayah Keuskupan Manado bahkan dalam diri banyak umat Katolik di Indonesia, karena JvP telah meninggal dunia dalam usia 85 tahun di Rumah Sakit Hermana Lembean, Sulawesi Utara, 18 Desember 2016 pukul 03.00, dan akan dimakamkan di Seminari Menengah Kakaskasen Tomohon, 21 Desember 2016.

    Setelah makan siang dan istirahat sebentar di pastoran katedral, cerita Pastor Sujoko, misionaris itu langsung diantar ke Seminari Pineleng pukul 15.00. Ketika tiba di Pineleng dia bertemu Pastor Petrus Akerboom MSC yang bertanya (mungkin bergurau) dengan bahasa Belanda, yang diterjemahkan oleh Pastor Sujoko berarti, “Engkau mau buat apa datang ke sini …?”

    Meski tiba di Manado dengan pengalaman tidak menyenangkan tanpa penjemputan dan sambutan bagus di tempat tugasnya,  namun JvP bertahan 52 tahun, 8 bulan dan 12 hari sampai dengan hari wafatnya. Lebih dari itu, menurut catatan Pastor Sujoko, JvP bahkan mencintai Indonesia, Keuskupan Manado, khususnya Pineleng dan Lotta. “Sehingga waktu ada kemungkinan menjadi warga negara Indonesia, JvP tanpa ragu-ragu mendaftar.” JvP menjadi Warga Negara Indonesia  17 Maret 1990.

    Setiap kali cuti ke Belanda, JvP ingin kembali ke Indonesia sampai dengan cuti terakhir Agustus-November 2010, karena 1 Maret 2013 dia masuk Rumah Sakit Hermana Lembean karena stroke.

    “Sejak stroke, JvP masuk dalam fase baru kehidupannya. Beliau yang terkenal super aktif, bekerja keras, bahkan reaktif dalam arti selalu memberikan reaksi dan pendapat terhadap peristiwa atau kejadian apa saja, kini diajak Tuhan untuk lebih banyak diam, mendengarkan, dan merenung, karena keterbatasan fisik yang dialaminya,” tulis Pastor Sujoko.

    “Saya menyaksikan betapa JvP berjuang menerima keadaan baru itu di Wisma Transito,      Lotta, Pineleng. Sebagai contoh, apabila tidak berhasil men-save tulisan yang diketik dengan susah payah dan kesabaran dengan satu jari kiri, kemudian salah pencet waktu akan menyimpan, dan seluruh teks hilang seluruhnya. JvP hanya terdiam, duduk dengan muka yang kecewa, dan harus menerima keterbatasan itu,” jelas imam itu.

    Keadaan pasif dialami JvP 3 tahun, 9 bulan dan 18 hari atau sejak 1 Maret 2013 hingga kematiannya. Selama itu JvP tergantung dari perawatan Ibu Rita Pyoh, Marcel, Rinto dan Frans yang bergantian berada dekatnya, mengambilkan pispot, mendorongnya ke komputer atau meja makan. Sejak itu pula JvP ditemani tombol bel yang setiap kali dipencet, seluruh ruangan sampai dapur berbunyi sebagai tanda JvP membutuhkan sesuatu. Namun sering, bila Ibu Rita ke pasar, anak-anak sibuk main bola padahal JvP setengah putus asa memencet bel. Untunglah ada Pastor Sjaag Wagey Pr di sebelah kamarnya.

    Saat muda, sehat dan kuat, JvP melakukan bermacam pekerjaan. Saat libur Paskah atau Natal, sebagai waktu istirahat setelah mengajar sepanjang semester, JvP membantu tugas Natal di pulau-pulau, sampai Ternate, Obi, Bacan, serta Luwuk, Banggai, dan Ampana di Sulawesi Tengah.

    Waktu cuti ke Belanda selalu dipakai untuk mencari dana bagi pembangunan di Keuskupan Manado atau Tarekat MSC. Bahkan, karena sibuk mencari dana, “saya dengar JvP sampai tidak pernah bisa berziarah ke Jerusalem, padahal banyak muridnya berkali-kali mengantar tour ke Tanah Suci. Ketika waktunya memungkinkan, beliau sudah cukup tua dan tidak bisa lagi melakukan perjalanan itu.”

    Fisik JvP kurus dan rapuh. Kesehatannya tidak maksimal, namun tak pernah mempedulikannya. “Suatu kali, sekitar 1994 ketika baru pulang dari studi di Roma untuk Leicentiat, saya menemani JvP untuk rapat para moralis di Yogya. Kami naik bus malam untuk singgah ke Provinsialat MSC di Jakarta, sebelum pulang ke Manado. Sepanjang perjalanan, JvP batuk-batuk dan badan lemah, namun beliau berusaha bertahan sampai Jakarta,” tulis imam itu.

    Dalam Misa Requiem malam pertama yang dipimpin Pastor Sujoko, Uskup Manado Mgr Josef Suwatan MSC bercerita tanggal 12 Desember pukul 13.00 dia mengunjungi JvP. Waktu itu kondisinya masih cukup baik dan kuat, masih duduk di kursi roda untuk makan di depan TV bersama Pastor Sjaag. Kalau tidak bisa duduk di kursi roda, ibu Rita menyuapi makan di tempat tidurnya, lalu beliau tidur nyaman.

    “Tanggal 14 Desember malam pukul 19.00 saya menengok di kamarnya. JvP baru bangun. Dengan muka segar dan senyum lebar melihat saya dia bertanya: ‘Mau buat Misa?’ Saya jawab,  ‘Ini malam hari Pater, Misanya besok pagi.’ JvP sering tidak ingat lagi pagi atau malam,” cerita Pastor Sujoko.

    Tanggal 15 Desember malam, ketika Manado hujan lebat, banjir dan tanah longsor, JvP tidur nyaman dengan selimut tebal menutupi tubuhnya. “Sungguh pengalaman hidup masa tua yang tenang dan penuh martabat,” kata Pastor Sujoko. Karena hujan tidak berhenti sampai malam, Pastor Sujoko menelpon Ibu Rita apakah JvP baik-baik. Ibu Rita menjawab “baik dan sehat, lagi tidur nyenyak.”

    Jumat, 16 Desember, pukul 19.00 Pastor Sujoko ke Lotta, JvP bisa duduk makan depan TV, tapi kondisi sudah menurun. Ingatan atau fungsi otaknya sudah tidak jalan. “JvP ingin makan pepaya, tetapi ia tidak bisa sebutkan lagi nama pepaya, ia hanya memakai bahasa isyarat,” kata Pastor Sjaag.

    Waktu Pastor Sujoko mendekat, JvP berkata, “Saya ada satu pertanyaan.” Imam itu berusaha mendengar, namun JvP tak mampu lagi mengucapkan kata, kemudian memilih diam, dan meminta didorong ke tempat tidur, karena merasa lelah.

    Tanggal 17 Desember, keadaan JvP menurun. Ibu Rita mengatakan JvP mengeluh sakit perut, dan suhu badan mulai naik dan berkeringat, namun diam saja, tidak bisa bicara lagi.

    Hari itu pukul 16.00 saat Pastor Sujoko bersiap keluar untuk pembinaan keluarga, pintunya diketuk dan tiga anak dari Lotta dengan sopir berdiri depan pintu dan mengatakan, “Pastor ditelpon-telpon tidak diangkat, JvP perlu dibawa ke rumah sakit.” Pastor Sujoko mulai panik, apakah harus memberi materi dan mengurus JvP. “Kami langsung ke Lotta. Ternyata Ibu Rita sudah mengatur koper pakaian siap ke rumah sakit mana pun.”

    Ketika dihubungi, dokter Linda Rotti, yang selama ini memeriksa dan memberikan resep untuk JvP, berada di Singapura. Maka rencana semula ke rumah sakit tempat dokter itu praktek batal. “Apalagi ketika mau mengangkat JvP ke mobil, beliau berteriak kesakitan. Seluruh tubuhnya sudah terasa sakit.”

    Pastor Sujoko langsung meminta lewat sms agar Mgr Suwatan dan Superior Skolastikat Pastor Johanes Sujono MSC datang dan meminta bantuan Superior Daerah MSC Pastor Johny Luntungan MSC untuk mengurus ambulance dari RS Lembean, “sementara saya menuju ruang pembinaan keluarga, karena peserta sudah menunggu di sana.”

    Pukul 22.00, Ibu Rita menelpon bahwa JvP sudah gawat, dan pukul 03.00, hari Minggu Adven ke-4, 18 Desember 2016, JvP kembali ke Rumah Bapa untuk masuk kehidupan kekal.

    Setelah selesai Seminari Menengah, 2 Agustus 1951, JvP masuk Novisiat MSC di Berg en Dal, Nijmegen (20 Agustus 1951-21 September 1952) dan Profesi MSC di tempat yang sama 21 September 1952.

    Setelah menyelesaikan Filsafat di Brummen  8 Agustus 1954 dan teologi di Stein 15 Juli 1958, JvP ditahbiskan imam di Stein, Limburg, 1 September 1957, kemudian studi di Universitas Gregoriana, Roma  (20 Oktober 1958-Juni 1959 ) dengan gelar Licensiaat, di Universitas Angelicum (Oktober 1959-Juni 1960) dengan gelar Doctorandus, di Akademi Alfonsianum (Oktober 1959-8 Februari 1963) dengan gelar Doktor Teologi Moral.

    Sementara itu, JvP bekerja di Akademi Alfonsianum sebagai auditor (Oktober 1960-Juni 1960), asisten weekend paroki Santo Luca al Prenestino, Romam (April 1960-Mei 1962), Pastor Muda di Paroki Santo Liduina Den Haag (8 Juni 1962-15 September 1963), Sekretaris Pribadi Mgr Nicolas Verhoeven MSC (September 1963-Desember 1963), Sekretaris Pribadi Provinsial MSC Pastor W Jaspers MSC (Desember 1963-Maret 1964).

    Setibanya di Indonesia, JvP langsung menjadi dosen di Seminari Pineleng hingga 20 Juli 2007. Dalam masa itu dia juga Pastor Paroki Warembungan dan Stasi Sea (29 Juni 1964-Juli 1967), Pastor Stasi Kali (Juni 1964-Juli 1965), dosen luar biasa di Fakultas Hukum Unsrat (1 Januari 1967-Juni 1978), Fakultas Sospol Unsrat (1 Januari 1968-Juni 1986), di IKIP Manado (Januari 1969-Juni 1986), di AKOP Manado (Mei 1968-1969).

    Mantan Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng (STFSP)  sejak 2 Juli 1967 hingga 10 Januari 1986 itu pernah menjadi Anggota Dewan Konsultor-Imam (Agustus 1967-2008), Ketua Komkat Manado di Lotta (10 April 1989-7 Januari 2008), Pastor Stasi Lotta (10 April 1989-1998), Pastor Paroki Lotta (1998-31 Desember 2007).

    JvP menjadi penghuni Wisma Transito Lotta sejak Desember 2007 dengan tugas asistensi di Paroki Lotta dan Kongregasi Suster-Suster Dina Santu Yoseph (DSY), pengurusan nikah tak beres, penulis Internet, penasehat pastor muda dan bersama dengan Pastor Sjaak Wagey Pr mengedit buku sejarah misi.

    Namun JvP pernah mengajar 2009-2010 mata kuliah yang hanya keluar sekali seumur STFSP yakni “Pastoral Keluarga-Keluarga yang Bermasalah.” Saat mengajar itu, kata seorang alumni, JvP pernah mengungkapkan pesan-pesan terakhir, “Sampaikan ke uskup dan pastor-pastor, kalau saya mati, jangan pake stola ungu atau hitam, tapi stola dan kasula putih, kain altar putih dan paket bunga-cunga putih di altar, karena bagi JvP kematian adalah sesuatu yang mulia, suci, harus disyukuri.

    Pengalaman yang tak terlupakan oleh alumni STFSP adalah tahun 1982, saat beliau akan rayakan pesta perak imamat. Selesai retret pribadi di Panti Samadi Tomohon, para frater menjemput JvP di pintu gerbang seminari dengan kursi dalam bentuk keranda. Mereka meminta JvP duduk di kursi itu dan mereka menggotongnya menuju kapel untuk Misa syukur seraya berteriak, “Pengantin datang, songsonglah dia!” Tradisi itu bertahan hingga saat ini untuk imam baru yang baru ditahbiskan dan kembali ke Seminari Pineleng.

    Ke kapel seminari itu juga hari ini 20 Desember 2016 jenazah JvP dipindahkan sebelum keesokan harinya dirayakan Misa Pemakaman dan Pemberkatan Jenazah dipimpin Mgr Suwatan bersama para imam konselebran. Sesudah itu langsung ke pemakaman Seminari Menengah Kakaskasen dan mampir di Biara Karmel Kakaskasen. Upacara pemakaman dipimpin oleh Pastor Johanes Mangkey MSC mewakili Provinsial MSC Pastor Rolly Untu MSC.

    “Yang Tersayang, Almarhum Rama Jan van Paassen MSC, selamat berpindah hidup ke alam kekal. Berbahagialah untuk selama-lamanya. Terima kasih untuk pengabdian Rama Jan untuk membangun Gereja Katolik Indonesia dengan panggilan Rama mendidik para calon imam,” tulis Uskup Purwokerto Mgr Julianus Sunarka SJ dalam sebuah milis.

    JvP telah pergi, tetapi tidak ada orang akan pergi ke Bandara Sam Ratulangi untuk menjemput orang Belanda, saudara-saudara JvP, karena mereka tidak dapat tiket Amsterdam – Jakarta – Manado. Mereka berencana datang pada peringatan 40 hari akhir Januari 2017. (paul c pati)

    van-passen

    van-paassen1van-paassden1

    RELASI BERITA

    2 KOMENTAR

    1. Di tengah kesedihan yg mendalam, ada sebongkah kebanggaan yg besar menjadi bagian dari umat yg beliau kasihi. Masih terbayang dalam ingatan ketika Pater menjadi pendamping rekoleksi. Selamat jalan, Pater. Sekarang engkau sudah bersama Dia yg begitu kau kasihi, yg kau layani seumur hidupmu.

    Leave a Reply to Nova Batal

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    - Advertisement -spot_img

    BERITA TERKINI