Oleh Dan Bilefsky***
Pastor Stanley Rother, orang Oklahoman bersuara lembut yang tewas tahun 1981 dalam perang saudara Guatemala yang panjang dan berdarah, telah dinyatakan sebagai martir, langkah yang bisa membuka jalan baginya untuk menjadi orang kudus atau santo, demikian mengumumkan Vatikan tanggal 2 Desember 2016.
Pada tahun 1968, Pastor Rother, yang lahir tahun 1935 dari keluarga petani di Okarche, Oklahoma, pergi menjalankan misi Katolik Roma di Santiago Atitlán, wilayah yang sangat miskin di dataran tinggi pedesaan di barat daya Guatemala. Imam itu menjadi pembela masyarakat adat, yang umumnya mendukung kelompok pemberontak sayap kiri yang melawan regu paramiliter pemerintah dalam perang saudara antara tahun 1960-1996.
Perjalanannya dari seorang anak pekerja kebun hingga menjadi imam adalah sesuatu yang tak bisa dipercaya. Dia bukan pelajar seperti biasanya, dia berjuang keras belajar bahasa Latin ketika berada di seminari, demikian tulis Catholic News Agency.
Tapi di Guatemala, Pastor Rother bertekad menjangkau penduduk dan belajar bahasa setempat yakni Tz’utujil, seraya menerjemahkan Perjanjian Baru. Dia mengajar umat paroki membaca dan menulis, membantu mereka bertani, dan mendirikan rumah sakit, sekolah dan stasiun radio. Janggut merahnya dan senyumnya yang murah dikenal di daerah itu. Di sana dia menjadi tokoh yang dicintai.
Tahun 1981, meski ada peringatan bahwa dirinya masuk dalam daftar orang yang akan dibunuh, bahkan kemudian umat-umat parokinya menjadi target atau hilang, Pastor Rother melakukan kunjungan singkat ke Oklahoma tetapi memutuskan kembali ke Guatemala.
“Gembala tidak bisa lari mendengar tanda bahaya pertama,” tulis imam itu dalam sebuah surat di akhir tahun 1980, seperti dikutip oleh Catholic News Agency. Dalam surat lain kepada seorang teman di Oklahoma, yang ditulis bulan Januari 1981, imam itu menggambarkan keputusasaannya saat melihat penculikan terhadap seorang umat paroki, seorang ayah berusia 30 tahun yang memiliki dua anak laki-laki kecil.
“Saya baru saja menyaksikan penculikan terhadap seseorang yang kita kenal dan cintai dan kita tidak bisa berbuat apa-apa,” tulisnya dalam surat itu. “Mereka menutup mulutnya, tetapi aku masih bisa mendengar jeritannya yang tertahan meminta bantuan. Ketika saya kembali di pastoran aku merasakan kram di punggung akibat kemarahan yang saya rasakan mengingat teman ini sedang dibawa untuk disiksa selama satu atau dua hari dan kemudian dibunuh secara brutal demi kehidupan yang lebih baik dan lebih adil bagi masyarakatnya,” lanjut surat itu.
Dengan peristiwa itu, lanjut imam itu, “sudah 11 umat saya diculik dan dimakamkan di sini.”
Pastor Rother segera menderita nasip serupa. Tanggal 28 Juli 1981, tiga pria bertopeng memasuki pastoran paroki dan menembak imam itu dua kali di kepala. Dia masih berusia 46 tahun.
Uskup Agung Kota Oklahoma Mgr Paul S Coakley mengatakan dalam wawancara telepon bahwa pembunuhan itu tidak pernah dipecahkan, meskipun diduga anggota pasukan kematian paramiliter telah mengupayakannya dengan baik. “Tidak ada seorang pun pernah dibawa ke pengadilan,” kata Mgr Coakley.
Menurut uskup agung itu, pengakuan Pastor Rother sebagai martir mencerminkan keberanian besar imam itu dan komitmennya untuk melayani umat parokinya.
“Dia adalah seorang saksi heroik, yang menyerahkan nyawanya bagi umatnya dan menginspirasi begitu banyak orang,” kata uskup agung, seraya menegaskan bahwa “dia adalah orang biasa dan seorang imam yang melayani dengan kesetiaan dan kemurahan hati yang luar biasa.”
Dengan pemilihan Paus Fransiskus di tahun 2013 – yang lahir di Argentina dan merupakan paus pertama dari Amerika Latin – imam-imam yang terbunuh di Amerika Latin di bawah pemerintahan otoriter yang brutal itu lebih diperhatikan.
Proses menjadi orang kudus bisa panjang dan sulit. Mesti ada keajaiban yang terkait dengan orang itu.
Kehangatan dan tekad Pastor Rother untuk membantu orang lain dikenang di Oklahoma dan di Guatemala.
“Bagaimana seorang imam berusia 46 tahun dari komunitas pertanian Jerman di Oklahoma bisa hidup dan mati di daerah terpencil, desa Guatemala yang kuno ini, adalah sebuah kisah yang penuh ketakjuban dan penyelenggaraan Ilahi,” tulis María Ruiz Scaperlanda dalam biografi berjudul, “Gembala yang tidak lari,” yang diterbitkan tahun lalu. (diterjemahkan oleh paul c pati dari the New York Times)
Keterangan gambar: Pastor Stanley Rother dalam karnaval di Guatemala. Kredit Foto Keuskupan Agung Kota Oklahoma