PEKAN BIASA XXX (H)
Santo Antonius Maria Claret; Aloysius Guanella
Bacaan I: Ef. 4:32–5:8
Mazmur: 1:1-2.3.4.6; R: Ef 5:1
Bacaan Injil: Luk. 13:10-17
Pada suatu kali Yesus sedang mengajar dalam salah satu rumah ibadat pada hari Sabat. Di situ ada seorang perempuan yang telah delapan belas tahun dirasuk roh sehingga ia sakit sampai bungkuk punggungnya dan tidak dapat berdiri lagi dengan tegak. Ketika Yesus melihat perempuan itu, Ia memanggil dia dan berkata kepadanya: ”Hai ibu, penyakitmu telah sembuh.” Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas perempuan itu, dan seketika itu juga berdirilah perempuan itu, dan memuliakan Allah. Tetapi kepala rumah ibadat gusar karena Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat, lalu ia berkata kepada orang banyak: ”Ada enam hari untuk bekerja. Karena itu datanglah pada salah satu hari itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari Sabat.” Tetapi Tuhan menjawab dia, kata-Nya: ”Hai orang-orang munafik, bukankah setiap orang di antaramu melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari kandangnya dan membawanya ke tempat minuman? Bukankah perempuan ini, yang sudah delapan belas tahun diikat oleh Iblis, harus dilepaskan dari ikatannya itu, karena ia adalah keturunan Abraham?” Dan waktu Ia berkata demikian, semua lawan-Nya merasa malu dan semua orang banyak bersukacita karena segala perkara mulia, yang telah dilakukan-Nya.
Renungan
Delapan belas tahun seorang perempuan menderita sakit sampai punggungnya bungkuk dan tidak dapat berdiri tegak kembali. Yesus dapat merasakan betapa beratnya penderitaan perempuan itu maka Ia berinisiatif memanggil perempuan itu dan berkata: ”Hai ibu, penyakitmu telah sembuh” (Luk. 13:12). Yesus tidak bertanya terlebih dahulu tentang apa penyakit perempuan itu dan sudah berapa lama ia menderita. Bahkan, Yesus tidak mau peduli kalau hari itu adalah hari Sabat; hari dimana orang tidak boleh bekerja. Bagi Yesus yang paling utama adalah melepaskan ikatan penderitaan yang telah lama menjerat perempuan itu.
Yesus hidup di dalam kasih. Ia lebih memilih kasih dan keselamatan sesamanya dibanding aturan-aturan kaku apalagi nama baik dan pujian di depan orang-orang.
Rasa iba sering muncul dalam hati kita saat melihat penderitaan orang lain. Namun demikian, kita sering menunda aksi nyata kasih kepada sang penderita dengan alasan ‘bukan tanggung jawab saya, nanti saja, jangan-jangan kita ditolak’, dan alasan lainnya. Memang tidaklah mudah untuk mempunyai keberanian berbelas kasih kepada sesama itu.
Ya Yesus yang murah hati, bagi-Mu manusia yang menderita itu lebih penting dibandingkan dengan diri-Mu sendiri. Teguhkanlah iman dan panggilanku agar aku pun berani mewujudnyatakan tindakan kasih kepada orang-orang yang sangat membutuhkannya. Amin.