Paus Fransiskus baru saja mengangkat 17 kardinal baru. Tidak ada yang istimewa bagi umat Katolik Indonesia karena ternyata berita tanggal 9 Oktober 2016 tentang pengangkatan Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo, yang beredar di media sosial, tidak benar.
Namun, sebagian warga Indonesia, khususnya para religius dari Misionaris Hati Kudus (MSC) berbahagia karena salah satu di antara 17 kardinal yang baru diangkat itu, yakni Mgr John Ribat, adalah kardinal pertama dari tarekat atau kongregasi religius MSC. Umat di tanah air boleh juga berbangga karena Mgr Ribat adalah orang pertama dari negara tetangga, Papua New Guinea, yang diangkat menjadi kardinal.
Dalam perjalanan untuk membimbing retret tentang konstitusi para Suster PBHK di Purwokerto, Pastor Johanes Mangkey MSC menjelaskan kepada PEN@ Katolik 11 Oktober 2016 bahwa dia kenal baik dengan Mgr Ribat. “Uskup agung itu ramah, bersahabat, rendah hati, dan selalu senyum,” jelas imam itu.
Ditegaskan bahwa kekuatan uskup agung itu mungkin bukan pada ilmu yang tinggi, karena prelatus itu tidak memiliki gelar akademik, hanya pernah ikut kursus di ARFI Manila untuk menjadi pembina, “tapi perhatian dan pelayanannya yang ramah, pastoral mengumat, dan dekat dengan umat.”
Pastor Mangkey yakini bahwa tugas dan keterlibatan uskup agung itu dalam seluruh pengembangan hidup menggereja “telah memperluas wawasan kepemimpinannya.”
Pastor Mangkey dari Provinsialat MSC di Jakarta, yang pernah menjadi Sekretaris Provinsi MSC Indonesia, Asisten Pemimpin Umum MSC di Roma selama 12 tahun dan empat tahu terakhir merangkap Sekretaris Jenderal MSC mengakui bahwa bagi MSC pada umumnya, khususnya PNG, pengangkatan Mgr Ribat menjadi kardinal juga “merupakan apresiasi atas karya MSC yang mulai hadir di PNG sejak tahun 1882 (MSC indonesia lewat Langgur, Maluku, tahun 1903, red.).”
Sejak MSC mulai hadir di PNG, jelas imam itu, karya kehadiran Gereja Katolik berlanjut sampai sekarang. “Sebelum tahun 1882 sudah ada misionaris Katolik yang datang, namun karena faktor penyakit, seperti malaria yang mematikan dan pembunuhan orang asing berkulit putih oleh penduduk setempat, maka karya misi terhenti. Ketika MSC masuk barulah karya Gereja berlanjut lagi,” jelas Pastor Mangkey.
Misi MSC ke PNG di tahun 1882 adalah misi resmi pertama MSC keluar Eropa atas permintaan Kongregasi Propaganda Fide atau sekarang disebut Kongregasi Untuk Penginjilan Bangsa-Bangsa di Vatikan.
“Saya senang dan bangga sebab kami kenal dekat,” kata Pastor Mangkey yang langsung mengenang peristiwa ditraktir makan di resto Cina di Port Moresby waktu calon kardinal itu sudah uskup. “Walaupun sudah uskup, tapi kalau ketemu di PNG atau Roma kami saling panggil nama saja, dia John saya juga biasa dipanggilnya John. Tapi sekarang saya mungkin mesti sapa dia His Eminence.”
Pastor Mangkey juga mengenang kunjungan pertama ke PNG tahun 1995, dan Mgr Ribat ikut mengantarnya. “Dia yang membawa mobil, dan sepanjang jalan dari satu kampung ke kampung lain setiap kali ketemu orang dia melambaikan tangan, entah orang itu dia kenal atau tidak,” cerita Pastor Mangkey.(paul c pati)