Oleh Pastor Albertus Sujoko MSC***
Uskup Manado Mgr Josephus Suwatan MSC merayakan Misa di Biara Dolorosa dari Bruder-Bruder Kongregasi Bruder Tujuh Dukacita Santa Maria (BTD) di Tomohon, Sulawesi Utara, didampingi Kepala Paroki Hati Kudus Tomohon Pastor Piet Tinangon Pr dan saya sebagai imam direktur kongregasi itu.
Pada awal khotbah Misa Pesta Maria Bunda Dukacita, 15 September 2016, Mgr Suwatan menyinggung Salib Indonesian Youth Day (IYD) dengan mengatakan bahwa “Tanggal 1 Januari 2016 Salib IYD itu diberkati dan mulai diarak keliling Keuskupan Manado. Sekarang bulan kesembilan dan sudah sampai di paroki-paroki yang berada di kota Manado.”
Perarakan Salib itu, jelas Mgr Suwatan, semula memang dimaksudkan untuk membangkitkan semangat OMK di Keuskupan Manado dalam rangka menyambut IYD 2016. “Namun dalam perkembangannya terjadi kreativitas penyambutan Salib dengan melibatkan atau malah mengundang pemimpin daerah setempat dan tokoh-tokoh agama lain.”
Pembuat memang adalah seorang Muslim karena dicari orang yang bisa membuat salib dari bahan rotan. “Kebetulan ada seorang Muslim dari Gorontalo yang sudah biasa membuat meja dan kursi dari bahan rotan. Maka dia diminta kalau bisa membuat salib dari rotan. Waktu penyambutan salib sampai Paroki Gorontalo, umat Muslim itu hadir juga. Malah bupati yang sedang rapat dengan dewan minta izin meninggalkan rapat karena mau menyambut salib IYD,” demikian Uskup Manado.
Rupanya sejak itu penyambutan salib jadi bervariasi sesuai kreativitas masing-masing dan juga dengan keterlibatan tokoh-tokoh agama lain serta pemimpin daerah yang semula tidak diharapkan, karena Salib IYD itu memang dimaksudkan diarak di lingkungan Gereja Katolik saja.
Setelah sampai kota Manado rupanya ada yang kontra. Seorang pendeta mempertanyakan teologi dari “baku ovor” (serah terima antarparoki) dari salib itu, sampai hal itu perlu diklarifikasi dan permintaan maaf dari yang bersangkutan. Namun tidak apa-apa kalau salib itu menjadi kontroversi, sebab Santo Paulus sendiri sudah mengatakan bahwa Salib itu menjadi sumber perbantahan. Salib adalah batu sandungan bagi orang Yahudi dan kebodohan bagi orang Yunani. Namun bagi umat kristiani, Salib adalah Kebijaksanaan Allah yang menyelamatkan.
Tidak dapat disangkal bahwa Salib IYD itu telah menjadi “selebriti” atau artis terkenal yang membuat banyak orang suka berfoto dengannya. Saya melihat di FB banyak orang suka memegang salib itu dan berfoto ria dan diposting di FB. Orang itu merasa bangga karena sudah berfoto juga dengan Salib IYD yang sudah terkenal itu. Bahkan salib itu sudah diterbangkan juga dengan paralayang dari bukit Tetempangan di antara Koha dan Mokupa oleh Wakil Ketua DPRD Sulut Wenny Lumentut, dan di posting di mana-mana.
Padahal, bentuk corpus Salib IYD itu jelek, tidak seperti Salib Kristus yang biasa. Kalau dilihat, hanya seperti salib dari orang-orangan atau sebuah boneka. Mungkin hal itu berkaitan dengan kesulitan membuat salib dari bahan rotan. Namun orang-orang tidak mempersoalkan bentuk salibnya. Mereka langsung masuk pada makna Salib IYD itu, sebagai satu-satunya salib yang selama sembilan bulan terakhir sudah dipegang dan dihormati oleh ribuan orang. Bahkan prosesi penyambutan Salib IYD itu telah berkembang menjadi peristiwa toleransi antarumat beragama yang saling menghormati dan menjaga kerukunan.
Teologi Salib
Salib memang tidak mengenal agama. Orang yang tersalib itu telah menyatu dengan semua orangm karena pada dasarnya semua orang itu menderita. Penderitaan yang paling nyata adalah: sakit, menjadi tua dan mati. Semua orang akan mati, dan Dia yang telah mati di Salib itu sudah mengalami kematian amat keji. Dia adalah manusia superlatif atau manusia paling: paling baik dan paling menderita sengsara. Dia adalah manusia yang paling mati. Banyak manusia di dunia ini menderita kematian tragis, tetapi Dia yang tersalib itu adalah yang paling tragis.
Pertanyaan manusia tentang kematian memang menjadi salah satu asal-usul dari agama. Manusia perlu penjelasan terhadap fakta kematian supaya punya keberanian hidup dan pengharapan sesudah kematian. Gaudium et Spes (GS) no 18 diberi judul: rahasia maut. “Di hadapan maut, teka-teki keberadaan manusia mencapai puncaknya. Manusia bukan hanya takut akan kematian, melainkan terlebih pada kehancuran definitif keberadaannya.” Kalau manusia yang mati itu masih melanjutkan kehidupannya dalam bentuk lain, manusia tidak terlalu takut. Yang ditakutkan adalah bahwa sesudah mati, manusia tidak eksis lagi dan keberadaannya sudah hancur total. Kalau begitu, satu-satunya kesempatan bagi manusia adalah hidupnya di dunia ini.
Tidak dapat disangkal bahwa penderitaan, salib dan kematian adalah tantangan paling berat dari iman, namun dari lain pihak merupakan sumber munculnya iman. Karena manusia akan mati, maka ia merasa perlu beriman. Namun adanya penderitaan dan kematian itu adalah pertanyaan tak terjawab tentang kebaikan Tuhan. Kalau Tuhan mahabaik mengapa ada penderitaan dan kematian. Teolog Jerman Johann Baptist Metz pun bertanya: “Apakah kita masih bisa berdoa setelah kekejaman di Auschwitz? Di mana Tuhan waktu itu? Mengapa Tuhan membiarkan Auschwitz terjadi? Dan ia menjawab sendiri: Ya, kita tetap berdoa setelah Auschwitz, karena di Auschwitz mereka juga berdoa”.
Tuhan ada di dalam penderitaan, di dalam salib dan di dalam kematian. Tuhan sudah mati di kayu salib dan semua orang juga akan mati seperti Tuhan.
Selamat menyambut IYD yang tinggal 14 hari lagi.***