Ada banyak karakter dalam kutipan Injil Lukas tentang Orang Samaria yang Baik Hati. Tapi, tanya Paus Fransiskus dalam katekese, “Siapakah yang pantas disebut sesama manusia? Penyamun, orang malang yang ditinggalkan setengah mati di jalan, imam, ahli Taurat, pengacara? Atau pemilik penginapan?
Paus Fransiskus mengunjungi Villa Nazareth di daerah Pineta Sacchetti Roma, 18 Juni 2016. Villa Nazareth didirikan tahun 1946 untuk anak yatim dan anak-anak miskin guna memberikan kesempatan pendidikan kepada anak-anak yang kurang mampu.
Kini Villa Nazareth membantu orang-orang muda yang sedang mengalami kesulitan ekonomi tetapi juga menunjukkan potensi intelektual yang besar. Villa itu memberikan program inspirasi pembentukan Kristen. Karisma dan misi institusi itu adalah meningkatkan “diakonat budaya” dan membentuk orang-orang yang bisa menjadi panutan dalam masyarakat sebagai saksi-saksi moral.
Dalam katekese, Paus Fransiskus mengatakan, mungkin tidak satupun dari orang-orang itu tahu cara menjawab pertanyaan seperti itu. “Imam itu sedang terburu-buru, seperti semua semua imam dan pasti dia melihat arloji dan berkata pada diri sendiri bahwa dia harus merayakan Misa, atau dia meninggalkan pintu gereja terbuka dan dia harus menutupnya. Ahli Taurat mengatakan, “Tapi kalau aku ikut campur dalam hal ini, besok aku harus ke pengadilan, memberikan kesaksian, mengatakan apa yang telah saya lakukan, hilang dua, tiga hari kerja …” kata Paus.
Sebaliknya, lanjut Paus Fransiskus, “orang lain ini, orang berdosa, orang asing yang sesungguhnya bukanlah anggota umat Allah, tergerak hatinya: Dia memiliki kasih sayang. Dan dia berhenti. Semua tiga orang itu, imam, pengacara dan orang Samaria, tahu benar apa yang harus dilakukan. Dan masing-masing membuat keputusan sendiri.”
Namun, kata Paus Fransiskus, bisa bermanfaat memikirkan situasi itu dari perspektif pemilik penginapan yang tetap anonim. Dia menyaksikan semua yang terjadi dan tidak mengerti apa-apa, sambil berkata pada diri sendiri, “Tapi ini gila! Orang Samaria membantu orang Yahudi? Ini gila! Dan kemudian, dengan tangannya sendiri ia membalut luka-luka dan membawanya ke hotel dan mengatakan kepada saya, ‘Engkau, rawatlah dia, saya akan bayar kalau jika kau belanja lebih daripada ini.’ Tapi saya belum pernah melihat ini! Ini gila!”
Dan orang itu, lanjut Paus Fransiskus, menerima Firman Allah lewat kesaksian. “Kesaksian siapa? Kesaksian imam? Tidak, karena imam bahkan tidak melihat orang itu. Pengacara sama saja. Namun, orang berdosa itu: Dia memiliki kasih sayang. Dia bukan anggota Umat Allah yang setia tetapi dia memiliki kasih sayang. Dan dia tidak tahu apa-apa.”
Paus Fransiskus menegaskan, “inilah yang pantas disebut kesaksian. Kesaksian dari orang berdosa ini telah menabur kegelisahan di hati pemilik penginapan. Injil itu tidak mengatakan apa yang terjadi dengan pemilik penginapan ini, bahkan tidak mencatat namanya. Tapi tentunya rasa ingin tahu orang ini tumbuh, kegelisahannya dibiarkan tumbuh dalam hatinya.
Paus Fransiskus bertanya, “Dan mengapa saya memikirkan karakter ini, orang ini?” Kesaksian, kata Paus, adalah menjalani cara ini sehingga orang lain “bisa melihat karya kalian dan memuliakan Bapamu yang di Surga”, yakni, menjumpai Bapa.
Paus Fransiskus mengakhiri katekese itu dengan berharap agar semua orang yang melihat pekerjaan yang baik dari Villa Nazareth dapat merespon dengan cara ini dan bukan seperti cara para imam yang mungkin terburu-buru menjauhkan diri atau para dokter yang ingin menyampaikan iman akan Yesus Kristus dengan kekakuan matematika. Semoga kita diajarkan dengan kebijaksanaan Injil: “mengotorkan tangan.” (pcp dari Radio Vatikan)