PEKAN BIASA VII (H)
Santo Eugenius dari Mazenod;
Santo Bernardinus dari Siena; Santo Ivo, Uskup
Bacaan I: Yak. 5:9-12
Mazmur:103:1-2.3-4.8-9.11-12;R:8a
Bacaan Injil: Mrk. 10:1-12
Pada suatu hari Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang Sungai Yordan. Di situ orang banyak datang mengerumuni Dia; dan seperti biasa Yesus mengajar mereka pula. Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: ”Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?” Tetapi jawab-Nya kepada mereka: ”Apa perintah Musa kepada kamu?” Jawab mereka: ”Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” Lalu kata Yesus kepada mereka: ”Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka: ”Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinaan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zina.”
Renungan
Ketika Yesus sedang dalam perjalanan menuju wilayah selatan, yakni Yudea, tiba-tiba seorang Farisi maju ke depan dan bertanya kepada-Nya perihal perceraian. ”Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?” Jawaban Yesus tegas, ”Apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.” Di dalam perkawinan, suami dan istri bukan lagi dua melainkan satu daging.
Demikianlah ideal perkawinan menurut adat perkawinan Katolik. Satu tambah satu bukanlah dua melainkan satu. Tetapi di dalam kenyataannya ideal ini tidak selalu gampang diwujudkan. Satu tambah satu tetaplah dua dan bukannya satu karena suami dan istri yang bersatu di dalam perkawinan membawa serta ke dalam perkawinan mereka bermacam-macam perbedaan. Perbedaan yang beraneka ragam itu tidak selalu gampang dipersatukan. Karena itu, kunci untuk menjaga keutuhan perkawinan adalah kemampuan untuk menerima perbedaan. Bagaimana aku yang suka jaipong—meminjam istilah Gombloh—bisa menerima dia yang suka disko. Aku yang suka singkong bisa menerima dia yang suka keju. Hal itu hanya bisa terjadi kalau ada toleransi untuk bisa menerima perbedaan. Namun, toleransi muncul kalau ada kehendak untuk sungguh-sungguh mencintai pasangan sebagaimana adanya.
Tuhan, berkatilah keluarga-keluarga Kristiani agar cinta mereka berkanjang sampai maut memisahkan mereka. Amin.