“Semana Santa tetap bertahan hidup, kalau orang menemukan makna rohani di dalamnya. Tradisi itu hidup melalui proses sedimentasi (pengendapan) dan inovasi (pembaruan). Sedimentasi tanpa inovasi akan mati. Sebaliknya, inovasi tanpa sedimentasi tidak mungkin. Melalui sedimentasi, nilai-nilai agama dan kebudayaan diendapkan, dimantapkan, dan diteruskan dari generasi ke generasi. Melalui inovasi, warisan sejarah dibaharui dan dikembangkan.”
Maka, umat pewaris tradisi yang sudah bertahan lima abad karena dijaga dan dipelihara oleh umat itu, patut berusaha memantapkan nilai-nilai yang baik dan terus membaruinya. “Peziarah bukan menonton pertunjukan, tapi mengambil bagian dalam perayaan suci itu dan menimba makna rohani untuk hidupnya.”
Pastor Leo Kleden SVD berbicara dalam seminar Semana Santa bertopik “Jati Diri dan Citra Kehidupan Iman Umat Larantuka” di Gereja Paroki Santo Ignatius Waibalun, Larantuka, Flores Timur, 16 Maret 2016. Seminar yang diselenggarakan oleh Dewan Pastoral Paroki (DPP) Waibalun itu didukung oleh Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka (IKTL) dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Flotim. Selain Pastor Leo Kleden SVD, seminar yang dipandu Pastor Philipus Panda Koten SVD itu juga mendengarkan materi dari Pastor Yohanes Hans Monteiro Pr.
Menurut Pastor Leo Kleden, Semana Santa harus tetap dihubungkan dengan akar tradisi iman Kristiani, yaitu perayaan sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. “Semakin khusyuk merayakan peristiwa ini dengan doa, nyanyian dan renungan yang dilanjutkan dalam liturgi Pekan Suci, semakin besar daya tarik perayaan ini bagi peziarah. Aspek komersial dan turistik tak boleh menggeser tujuan utama, yaitu mengambil bagian dalam misteri agung kisah sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus.”
Berbicara tentang “Semana Santa: Kisah Umat Beriman dalam Cerminan Kisah Sengsara Yesus Tuhan,” Pastor Leo Kleden mengatakan, Semana Santa telah jadi tradisi iman Katolik di Larantuka. “Tradisi tetap hidup karena pewaris tradisi masih menimba makna hidup dari tradisi ini. Kenyataan, bahwa sampai sekarang umat masih tetap merayakan Semana Santa dengan semangat devosional yang kuat, menjadi bukti bahwa mereka tetap menimba makna hidup dari perayaan ini.”
Unsur yang melestarikan Semana Santa, menurut Provinsial SVD Ende itu, adalah perayaan Kisah Sengsara Yesus sambil menantikan kemenangan kebangkitan. “Sesungguhnya semua tokoh dalam kisah sengsara Yesus masih tetap bisa dijumpai dalam situasi konkrit dewasa ini. Hakim yang tidak adil, penguasa yang kejam atau sewenang-wenang, tindakan kekerasan oleh pihak keamanan, penyelewengan pemimpin agama, pengkhianatan oleh orang terkasih, tangis ibu yang kehilangan, hukuman atas orang tak bersalah. Semua masih kita alami.”
Maka, lanjut imam itu, melalui dramatisasi kisah sengsara Yesus umat beriman mengalami katarsis, yaitu penjernihan batin. “Tetapi katarsis dalam Semana Santa jauh lebih dalam, justru karena umat mengambil bagian aktif dalam prosesi dan lebih lagi karena mereka mempersembahkan semua duka derita mereka pada Tuhan dengan mengambil bagian dalam kisah sengsara Yesus.”
Warisan budaya menjadi bagian dari tradisi yang hidup kalau dia terus menerus mengalami inovasi atau pembaruan. Imam itu juga melihat bahwa dalam Semana Santa terdapat beberapa catatan pembaruan. Misionaris Belanda menghapus prosesi Kamis Putih dan hanya meneruskan prosesi Jumat Agung agar umat lebih memusatkan perhatian pada liturgi Pekan Suci dan tidak menghabiskan waktu dan tenaga untuk perayaan devosional melalui prosesi.
“Kalau dahulu prosesi mulai dan berakhir di rumah raja, maka kini perarakan Jumat Agung dimulai dan berakhir di katedral sebagai pusat keuskupan. Selama dua abad, prosesi Jumat Agung terutama diisi dengan doa dan nyanyian. Kini perhentian di tiap armida diisi pembacaan Firman Tuhan dari Kitab Suci dan renungan,” jelas Pastor Leo Kleden.
Pastor Hans Monteiro Pr dalam materi bertema “Semana Santa di Larantuka, Kota Reinha: Sejarah Liturgi dan Teologi,” mencatat bahwa Semana Santa di Larantuka, Kota Reinha, meninggalkan jejak sejarah Portugis, warisan misionaris Dominikan (OP) yang dihidupi oleh orang Nagi dengan Conferia dan Mama Muji sebagai garda terdepannya. “Tradisi kesalehan Portugis ini berinkulturasi dengan budaya Lamaholot, nyata dari partisipasi suku-suku Semana,” jelas imam itu.
Semana Santa, lanjut imam itu, adalah kesaksian iman dari pergulatan sejarah misi Dominikan, Serikat Yesus, Serikat Sabda Allah sampai terbentuknya Gereja lokal. “Dia adalah bagian dari ikatan sejarah yang menjadi kekayaan dan kekhasan Gereja lokal berawal dari keprihatinan misionaris terhadap hidup umat yang, seperti kata Rasul Paulus, “tidak mengenal Allah dengan pikiran-pikirannya yang sia-sia” (Ef 4,17).
Mereka kehilangan gembala, kemudian dihantar kepada pengenalan akan Misteri Paskah Kristus melalui kegiatan paraliturgi (doa, nyanyian, dramatisasi dan prosesi) dan liturgi Pekan Suci untuk pertobatan.
“Kesaksian iman ini bila tidak dibangun di atas basis kekayaan sejarah (tradisi), akan hancur, terperangkap dalam subyektivitas dan kesenangan belaka. Di lain pihak, jembatan baru untuk dialog dan koreksi terhadap perkembangan yang salah harus dibangun dengan kriteria-kriteria jelas guna memenangkan warisan rohani Semana Santa,” kata imam itu.
Dikatakan, relasi komplementer antara liturgi dan kesalehan umat bukanlah tujuan akhir melainkan sarana untuk memperdalam iman, untuk berjumpa dengan Tuhan dalam keseharian dan terarah pada hidup doa. Spiritualitas yang tidak terarah pada tujuan itu akan jatuh pada ritual semata dan menjadi tontonan belaka. “Semana Santa adalah bukti karya Roh Kudus dari sejarah masa lalu, sekarang dan akan datang,” kata imam itu. (Yuven Fernandez)