Senin, Desember 23, 2024
31.5 C
Jakarta

Gerakan APP Nasional 2016 Konferensi Waligereja Indonesia, Hidup Pantang Menyerah

APP-2016-POSTER-1

Hidup Pantang Menyerah

Pengantar

“Mewujudkan Hidup Sejahtera” menjadi garapan tema Gerakan APP tahun 2012 – 2016. Hidup sejahtera berarti hidup dalam kebenaran, damai dan sukacita. Ketiga dimensi ini dilihat sebagai nilai fundamental Kerajaan Allah yang bukan hanya berkait dengan bidang spiritual, melainkan realitas yang harus diimplementasikan dalam kegiatan hidup manusia seturut dimensi sosial– ekonomi. Gerakan APP Tahun 2012 “Panggilan Hidup dan Tanggung Jawab” sudah merefleksikan mengenai hal itu. APP Tahun 2013 “Menghargai Kerja: Kerja Itu Suci” menjadi pengungkapan panggilan hidup dan tanggung jawab sebagai umat beriman untuk bekerja “mengusahakan dan memelihara” (Kejadian 2,15) harta benda yang telah dianugerahkan Allah bagi kesejahteraan dan keberlanjutan hidup manusia. Kerja menjadi sarana yang efektif untuk melawan kemiskinan dan menuju kesejahteraan hidup (bdk. Amsal 10,4), serta mempraktekkan suatu solidaritas yang dapat diwujudkan dengan berbagi hasil kerja dengan mereka yang berkekurangan (bdk. Efesus 4,28).

Oleh karena itu, setiap umat beriman perlu menyadari bahwa seluruh perjalanan hidupnya merupakan proses pembelajaran untuk mencapai kepenuhan hidup, kesejahteraan lahir dan batin (Gerakan APP Tahun 2014 “Belajar Sepanjang Hidup”). Belajar sepanjang hidup untuk mencapai kepenuhan kesejahteraan hidup dibangun dengan mengolah dan mengelola hidup sebagai karunia dan rahmat Allah, dan hal ini sudah direfleksikan dalam gerakan APP Tahun 2015 “Pola Hidup Sehat dan Berkecukupan”. Mengolah dan mengelola hidup akan melahirkan daya hidup sebagai daya juang untuk hidup pantang menyerah. Daya hidup yang dimaksud adalah ketekunan, keuletan dan kesabaran yang akan mendasari dalam proses mewujudkan kemandirian dan keberlanjutan kesejahteraan hidup, dan hal ini akan menjadi olahan refleksi dalam gerakan APP 2016“ Hidup Pantang Menyerah: Tekun, Ulet dan Sabar”.

Gerakan APP 2016 “Hidup Pantang Menyerah: Tekun, Ulet dan Sabar” mempunyai sasaran dan tujuan untuk membangun dan mewujudkan perubahan dan pembaharuan iman umat dalam:

  1. Menghargai dan menghormati hidup sebagai anugerah yang berasal dan bersumber dari kasih Allah melalui ketekunan, keuletan dan kesabaran dalam menghadapi tantangan hidup.
  2. Menggali dan menemukan daya kehidupan yang bersumber dari kekuatan Allah untuk menjadi landasan hidup dalam mencapai kesejahteraan hidup lahir dan batin.

 

Daya Hidup: Tekun, Ulet, Sabar

 

Kemampuan manusia mempertahankan hidup dan kehidupan yang dianugerahkan Allah sebagai yang bernilai dan berharga akan melahirkan daya-daya hidup. Tegangan yang terus menerus antara realitas hidup yang dijumpai dengan harapan hidup menjadikan daya hidup tumbuh dan terasah dengan baik. Ketekunan, keuletan dan kesabaran menjadi nyata dan hidup dalam diri manusia, serta menjadikanya sebagai daya hidup yang membuat manusia mampu bertahan dalam jepitan ketegangan antara realitas hidup dan harapan hidup. Di Atas Kursi Roda, Sukardi Merengkuh Ganasnya Jalanan Ibu Kota, sebuah narasi hidup yang bisa dipakai untuk memahami makna daya hidup, yang membuat manusia mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup dan pantang menyerah dalam kondisi yang serba sulit untuk mencapai kesejahteraan hidup yang dicita-citakan (Kompas, Senin 2 Maret 2015).

 

Selalu ada jalan bagi mereka yang mau berusaha. Prinsip itu dipegang Sukardi (69 tahun), pedagang miniatur kapal keliling. Lumpuh pada kakinya akibat kecelakaan kerja pada tahun 1976 tidak membuatnya kehilangan semangat untuk hidup. Tangannya yang telah keriput seiring usia perlahan mendorong dua roda dari kursi rodanya. Kursi roda yang telah dipakainya hampir 40 tahun. Saat bertemu lobang, sigap ia berbelok, menghindarkan roda-roda kursinya agar tidak terjebak lubang di jalan. Beban Sukardi bukan hanya berhenti saat mampu melewati rintangan-rintangan di jalan. Namun, setiap hari, ia membawa 5–10 miniatur kapal pinisi, perahu tradisional khas Sulawesi Selatan. Miniatur kapal yang dibawanya cukup besar. Satu kapal kecil berukuran panjang sekitar 50 cm dengan tinggi 30 cm. Adapun yang berukuran besar mencapai 70 cm. Berjualan miniatur perahu telah dilakoni Sukardi sejak tahun 1980, empat tahun setelah kedua kakinya lumpuh.

 

Sukardi, di umur yang tidak lagi muda, masih menjadi tumpuan bagi keluarganya. Selain untuk mencari biaya kontrakan rumahnya di daerah Rawa Buaya, ia juga bertugas mencari lauk bagi delapan orang yang tinggal bersamanya. Satu anak perempuan, lima cucu dan dua cicit adalah keluarga yang ditanggungnya. Meskipun demikian, Sukardi tidak ingin menyerah mengarungi belantara jalanan kota. Cita-citanya sederhana, “Semoga bisa menabung untuk membeli kursi roda baru. Supaya bisa agak cepat di jalanan”.

 

Hidup Pantang Menyerah:

 

Memperjuangan Kesejahteraan yang Tiada Berkesudahan

 

Dalam Kisah Penciptaan, “Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej 2,7). Hidup manusia berasal dan bersumber dari Allah. Oleh karena itu, manusia mampu mengenal dan mengasihi Allah pencipta-Nya dan oleh Allah manusia ditetapkan sebagai tuan atas semua makhluk di dunia ini, untuk menguasainya dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah (bdk. Gaudium et Spes art. 12). Rencana dan rancangan Allah dalam mencipta alam semesta dan isinya diproyeksikan bagi kebutuhan dan keberlangsungan hidup manusia, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” (Kejadian 1, 26).

 

Manusia diberi tanggung jawab atas bumi dan segala makhluk yang diciptakan oleh Allah (Bdk. Kej 1,26). Tanggung jawab untuk mengolah dan mengelola segala sesuatu yang sudah dianugerahkan oleh Allah dipergunakan untuk membangun kesejahteraan hidup. Hidup pantang menyerah untuk mengusahakan kesejahteraan menjadi ungkapan perwujudan tanggung jawab manusia kepada Allah atas hidup yang sudah dianugerahkan-Nya. Hidup pantang menyerah merupakan sikap hidup yang ditunjukkan dengan tidak mudah patah semangat dalam menghadapi berbagai rintangan kehidupan, selalu bekerja keras untuk mewujudkan tujuan hidup, dan menganggap bahwa rintangan atau hambatan yang akan selalu ada dalam setiap langkah untuk mencapai tujuan hidup itu harus dihadapi sebagai pembelajaran hidup dari Allah.

 

Kesejahteraan hidup yang merupakan gambaran keseluruhan kondisi-kondisi hidup yang memungkinkan manusia secara lebih penuh dan lancar mencapai kesempurnaan hidup, dan kesempurnaan hidup itu digambarkan dengan kecukupan hidup lahir dan batin seturut dimensi sosial–ekonomi (bdk. Gaudium et Spes art. 26). Oleh karena itu, manusia harus memperjuangkannya dan mengusahakannya terus menerus untuk mencapai kesejahteraan hidup yang dicita-citakan. Bekerja dan mengusahakannya dengan pantang menyerah menjadi ungkapan dan perwujudan tanggung jawab manusia atas hidup yang sudah dianugerahkan oleh Allah. Kisah hidup Sukardi, “Di Atas Kursi Roda, Sukardi Merengkuh Ganasnya Jalanan Ibu Kota” jelas menggambarkan hidup pantang menyerah: memperjuangkan kesejahteraan yang tiada berkesudahan.

 

Keberlanjutan dan Kemandirian Kesejahteraan Hidup

 

Kesejahteraan hidup manusia tergambar dalam suasana hidup sejahtera dan hidup damai. Makna hidup sejahtera yang sebenarnya ketika manusia mengalami perkembangan hidup secara mental, spiritual, intelektual, sosial dan material. Atau dengan kata lain, hidup sejahtera berarti manusia hidup dalam keseimbangan hidup kognitif dan hidup afektif, serta keseimbangan dalam hidup beriman; pengungkapan iman dan perwujudan iman berjalan beriringan. Oleh karena itu, hidup sejahtera akan beriringan dengan hidup damai. Hal ini menjadi tujuan dari seluruh hidup manusia yang akan selalu diperjuangkan terus menerus sepanjang hidup manusia.

 

Proses penciptaan keberlanjutan dalam mencapai kesejahteraan hidup atas dasar hidup pantang menyerah (tekun, ulet, sabar) akan mengarah pada pertumbuhan kemandirian. Di dalam kemandirian, seorang pribadi akan mampu memilih dan memutuskan apa yang baik bagi dirinya maupun kepentingan pihak lain dan lingkungan lebih luas, mengingat ada keterkaitan kepentingan bersama. Oleh karena itu, tahapan untuk pencapaian keberlanjutan dan kemandirian kesejahteraan hidup dimulai dengan penyadaraan mengenai panggilan hidup manusia dan tanggung jawab atas hidup yang telah dianugerahkan oleh Allah (Gerakan APP 2012). Manusia dipanggil untuk terlibat aktif untuk bekerja bersama Allah dalam mengelola dan memelihara seluruh ciptaan demi kesejahteraan hidup bersama dan keberlanjutan hidup bagi seluruh ciptaan (Gerakan APP 2013). Keberhasilan manusia dalam mencapai kepenuhan hidup sejahtera (lahir dan batin) ditandai dengan proses pembelajaran terus menerus (Gerakan APP 2014). Belajar untuk selalu mengolah dan mengelola hidup sebagai karunia Allah yang sangat bernilai dan pantas untuk selalu diperjuangkan terus menerus.

 

Pembelajaran hidup pantang menyerah: tekun, ulet dan sabar harus sudah diajarkan sejak dini dalam keluarga. Gambaran seorang bapak “Bapak Sukardi” yang menghidupi nilai-nilai hidup yang terkandung dalam hidup pantang menyerah dalam menghadapi tantangan dan hambatan hidup bisa dijadikan inspirasi hidup bagi anak-anak untuk menghargai hidup yang sudah dianugerahkan Allah. Menghargai hidup bisa dimulai dengan mengisi kehidupan sehari-hari; dari waktu ke waktu dengan penuh tanggung jawab. Ketekunan, keuletan dan kesabaran dalam menghadapi hambatan dan menjalankan proses belajar, baik di sekolah maupun di rumah yang dibuat dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab bisa menjadi awal yang baik dalam membangun kemandirian hidup dan menjalani hidup dengan pantang menyerah.

 

Penutup

 

Tantangan dan hambatan hidup yang terus menerus dihadapi dalam mengusahakan dan memperjuangkan kesejahteraan hidup akan membuat ketekunan, keuletan dan kesabaran menjadi nyata dan hidup dalam diri manusia, dan menjadikannya sebagai daya hidup yang membuat manusia mampu bertahan dalam jepitan ketegangan antara realitas hidup dan harapan hidup. Daya hidup inilah yang menumbuhkan kemampuan manusia untuk mempunyai daya hidup pantang menyerah dalam mewujudkan cita-cita hidup; kemandirian dan kesejahteraan hidup lahir dan batin.

 

(Sumber: Komisi PSE KWI)

 

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini