Seekor laron terbang ke sana-ke mari di sekitar 13 lilin yang berpendar-pendar di depan 32 anak muda dari berbagai agama yang sedang berdoa bersama dengan intensi terjadinya kerukunan dan perdamaian di bumi Indonesia.
Anak-anak muda itu berkumpul di aula Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Syailendra Kopeng, Salatiga untuk mengikuti acara Pondok Damai yang berlangsung 12-14 Februari 2016. Di sana mereka menyelami pengalaman beragamanya baik secara pribadi maupun dalam pengalaman perjumpaan dengan teman yang berbeda agama.
Hari-hari itu, mereka merefleksikan mengapa mereka beragama dengan agama yang mereka anut sekarang, apa pengalaman pribadi yang menyakitkan terkait relasi antarumat beragama, dan pengalaman pribadi apa yang menyenangkan terkait relasi antarumat beragama.
Semua peserta berbagi pengalamannya, semua peserta larut dalam permainan yang menyegarkan dan mengakrabkan satu dengan yang lain, dan semua peserta berkunjung ke semua tempat ibadah guna mengenal tradisi keagamaan dari agama lain.
Dalam kunjungan itu, PEN@ Katolik mengamati bahwa ada peserta yang belum pernah berjumpa dengan seseorang dari agama tertentu. Maka, kegiatan itu menjadi pengalamannya yang pertama dan membuka perspektif baru dalam merajut persahabatan.
Bahkan ada beberapa peserta yang sebenarnya satu agama namun berbeda mazhab. Kebetulan mazhab itu sedang menjadi korban intoleransi dari pihak-pihak tertentu. Dalam kegiatan itu mereka saling menampakkan sikap dan semangat persahabatan. Bahkan di antara mereka bisa saling bercanda. Tak ada masalah dalam relasi.
Saat berbagi, Harris Pawirosetiko mengalami pengalaman menyakitkan di sebuah kota. Ketika pergi ke warung untuk membeli sesuatu, cerita umat Muslim itu, dia dituduh teroris hanya karena memakai kopyah, baju koko, dan sarung. Dia coba menjelaskan tapi warga yang menuduhnya tidak mau tahu, apalagi karena dia lupa membawa KTP. Waktu itu sedang marak isu bom. “Mengapa orang-orang mengadili diri saya hanya karena pakaian yang saya kenakan?” dia menyesal.
Peserta lain pernah terkejut dan geli melihat cara beribadah agama temannya yang sangat berbeda dengan agamanya, yang biasanya hening dalam meditasi. Dalam keadaan itu, katanya, tiba-tiba dia disuguhkan dengan cara beribadah gegap gempita. “Namun saya sadar, tiap agama mempunyai cara tersendiri dalam beribadah. Akhirnya ia sadar, tradisi agama yang ada dalam agama lain tidak untuk ditertawakan.”
Dalam refleksi malam, pegiat dialog dari Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang Lukas Awi Tristanto mengatakan, upaya membangun perjumpaan lintas iman sungguh indah. Menurutnya, setiap manusia apapun perbedaannya adalah saudara karena sama-sama diciptakan oleh Pencipta yang sama. “Bagaikan kakak dan adik dilahirkan oleh ayah dan ibu yang sama. Di samping berasal dari yang sama, manusia juga menuju kepada yang sama,” katanya.
Awi menambahkan, dialog menjadi cara dan gaya untuk hidup bersama, serta menjadi pemersatu meskipun masing-masing menganut agama berbeda. Maka, dia berharap peserta tidak hanya bersatu dalam kegiatan itu “namun melangkah lebih jauh dengan memaknai semangat persaudaraan yang semakin nyata misalnya dalam dialog karya.”
Dengan demikian Awi percaya anak-anak muda lintas agama itu akan bersaksi bahwa meski berbeda-beda mereka bisa hidup bersama, meskipun dalam perbedaan mereka bisa berbuat sesuatu yang nyata demi kebaikan masyarakat.
Chandra Dvi Jayanti, mahasiswi Buddha, senang mengikuti kegiatan. Dia berharap kegiatan itu dilangsungkan lebih lama supaya bisa menikmati kebersamaan dengan yang berbeda. Sedangkan Putu Wisnu, yang beragama Hindu, merasakan semangat Bhinneka Tunggal Ika sangat terasa dalam program itu.
Pondok Damai pertama kali digagas oleh Pendeta Rony Chandra Kristantoro di Semarang tahun 2007. Bersama dengan aktivis Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), pendeta itu bahu membahu merintis kegiatan lintas iman yang banyak diikuti kaum muda dari berbagai agama. Sudah sembilan kali program itu dijalankan di bebeberapa kota di Jawa Tengah.
Dalam periode selanjutnya, Awi dan beberapa kaum muda mantan peserta meneruskan program itu. Saat ini, mereka terbang bagaikan laron yang tertarik pada cahaya di kegelapan, karena mereka mendamba damai.***