Sikap terbuka terhadap kebenaran dan terhadap kasih harus menjadi ciri dialog dengan penganut agama-agama non-Kristiani, walaupun terjadi pelbagai hambatan dan kesukaran, terutama fundamentalisme di kedua pihak.
Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) Keuskupan Malang, Pastor Ignatius Adam Soencoko Pr berbicara dalam Temu Fungsionaris HAK Provinsi Gerejawi Semarang di Pertapaan Santa Maria Rawaseneng, 24-25 Oktober 2015.
Imam itu menegaskan bahwa dialog antaragama merupakan syarat yang diperlukan guna menciptakan perdamaian dunia. Oleh karena itu, “dialog juga menjadi kewajiban bagi umat Kristiani dan komunitas agama-agama lain.”
Seraya mengutip Anjuran Apostolik Paus Fransiskus Evangelii Gaudium, Pastor Adam mengatakan, “dengan cara ini kita belajar menerima orang lain beserta pola hidup, pola pikir, dan pola bicara mereka yang berbeda.”
Bersama Ketua Komisi HAK Keuskupan Agung Semarang (KAS) Pastor Aloys Budi Purnomo Pr, Pastor Adam mengajak para fungsionaris HAK untuk mendalami kembali dokumen Evangelii Gaudium dan Nostra Aetate sebagai cara untuk meneguhkan kerasulan dialognya.
Temu fungsionaris HAK yang juga diikuti para pertapa OCSO diadakan dalam rangka untuk menguatkan kapasitas para fungsionaris dan pegiat HAK di wilayah Provinsi Gerejawi Semarang yang meliputi KAS, Keuskupan Purwokerto, Keuskupan Malang, dan Keuskupan Surabaya.
Acara yang juga diselenggarakan dalam rangka 50 tahun Nostra Aetate itu diawali dengan paparan dari Pengasuh Pondok Pesantren Al Ishlah Meteseh Semarang, Kiai Budi Harjono, yang dalam kesempatan yang sama menampilkan tarian sufi.
Dalam paparannya, Kiai Budi menyampaikan betapa pentingnya cinta dalam merajut perdamaian. ”Sebuah kebiadaban memang muncul dalam diri kita, kita hadang dan kita alihkan ke bentuk-bentuk peradaban. Cinta bisa mengubah kebiadaban menjadi peradaban,” kata kiai itu dalam acara yang juga dihadiri tokoh Islam dari Temanggung, Asnawi.
Hari kedua, 99 fungsionaris HAK dan para pertapa OCSO diajak mempelajari paralegal yang dipandu oleh Ninik Jumoenita dari sebuah lembaga bantuan hukum, sebagai langkah antisipasi dalam menyikapi hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
“Paralegal lahir sebagai reaksi atas ketidak berdayaan hukum, pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menangkap, memahami serta memenuhi asumsi-asumsi sosial yang diperlukan guna mewujudkan hak-hak masyarakat miskin, marginal dan kelompok minoritas lainnya yang secara tegas dijamin dalam Konstitusi dan berbagai Regulasi yang berlaku umum di Indonesia yang berkenaan dengan Hak Konstitusional dan Hak Dasar Warga Negara,” katanya.
Para peserta juga belajar ensiklik Laudato Si’ yang dibawakan oleh Pastor Antonius Anjar Daniadi OCSO dan Abas Pertapaan Santa Maria Rawaseneng Abas Gonzaga Rudiyat OCSO. Abas mengatakan, di sekitar Rawaseneng telah terjadi perubahan. Jika dulu banyak burung jalak dan kutilang, sekarang sudah jarang.
Imam itu menekankan pentingnya berdoa dan bekerja (ora et labora) yang diajarkan oleh Santo Benediktus. “Kerja punya makna rohani, dengan menghayati pekerjaan dalam kaitan dengan doa, kita menjadi lebih ramah dengan lingkungan. Dan relasi dengan dunia menjadi lebih bersahaja,” katanya. (Lukas Awi Tristanto)