Melihat begitu banyak yang hadir dalam sebuah gelar budaya lintas iman, seorang imam mengatakan bahwa kebangsaan, kebudayaan, atau apa pun yang sangat indah, harusnya berawal dari perjumpaan. “Kalau perjumpaan bisa menyatukan satu sama lain, apalagi bisa menjadi sarana bagi kita untuk menyelesaikan masalah, begitu indahnya.”
Koordinator Balai Budaya Rejosari (BBR) Pastor Yohanes Berchmans Haryono MSF berbicara dalam Gelar Budaya Lintas Iman 2015 di BBR, Kudus, 23 Agustus 2015. Sekitar 500 orang hadir dalam acara itu, sebagian besar umat dari berbagai paroki di Pantai Utara Jawa (Pantura).
Pastor yang dalam acara itu mengenakan iket kepala menegaskan bahwa berjumpa adalah sesuatu yang sangat penting di dalam masyarakat sekarang ini. ”Jangan semua diwakili oleh teknologi. Kita perlu berjumpa,” kata imam itu dalam orasi budaya.
Di kompleks itu nampak dua pendopo khas Kudus, namun acara itu digelar di bawah pohon durian dengan menampilkan berbagai pertunjukan seni dari berbagai tradisi agama maupun daerah. Selain seni musik rebana persembahan mahasiwa STAIN Kudus, ada juga barongsai, wushu, tari jaran eblek, musik keroncong, tari ledek, angklung, tembang dolanan, wayang potehi dan wayang kulit.
Gelar budaya diwarnai dengan simbol bambu, lengkap dengan berbagai ornamen dan hiasan terbuat dari bambu. Menurut Pastor Haryono, bambu dipilih sebagai simbol karena merupakan produk bangsa. “Waktu bangsa ini berjuang, kita tidak menggunakan alat-alat impor tapi energi sendiri dari bambu, bambu runcing,” katanya seraya menegaskan bahwa bambu adalah tumbuhan sangat penting.
Bambu, lanjutnya, sekaligus menjadi pratanda akan arti paguyuban dan persaudaraan. “Bambu umumnya adalah rumpun. Artinya, kita hidup dalam paguyuban, persaudaraan satu sama lain. Tidak ada yang melebihi kekuatan dari bambu ketika mereka bersatu dalam rumpun,” tegas imam itu.
Bambu yang bengkok maupun yang lurus, tegas imam itu, semua direngkuh, diterima dengan baik. “Bangsa ini, saya kira, menjadi kuat kalau semua direngkuh, tidak hanya yang lurus, tapi juga yang bengkok, bengkok-bengkok, yang mlingkar-mlingkur, semua diterima menjadi paguyuban yang kuat,” kata Misionaris Keluarga Kedus itu.
Dari bambu, jelas Pastor Haryono, seseorang bisa membuat kentongan atau alat komunikasi tradisional yang dibunyikan dengan cara dipukul. Bagi imam itu, kentongan merupakan suara profetis untuk membangunkan orang yang “tertidur” di tengah bangsa yang begitu krisis, banyak masalah.
“Suara profetis, di tengah kesibukan Negara yang begitu banyak masalah, mengingatkan bahwa bangsa ini masih harus terus berjuang dalam revolusi-revolusi budaya, revolusi ekonomi, revolusi politik dan sebagainya agar semakin ber-Ketuhanan yang Maha Esa,” tegas Pastor Haryono.
Selain imam itu, orasi budaya juga disampaikan oleh KH Happy, Ubaidillah Achmad dan Gunretno. Budaya, menurut Kiai Happy, menjadikan masyarakat hidup berdampingan tanpa sekat. Namun dia mengakui, sampai hari ini diskriminasi masih ada meskipun pemikiran sudah berkembang dengan baik.
“Kemajuan berpikir yang tidak diimbangi kemajuan spiritualnya menghasilkan diskriminasi,” kata Kiai Happy, seraya mengingatkan supaya dalam berkebudayaan tidak meninggalkan Pancasila. ”Saya menempatkan Panjenengan (Anda) semua adalah makhluk ciptaan Tuhan yang diberi kelengkapan dan kesempurnaan. Sebaik-baik orang adalah yang bisa memberi manfaat pada orang lain,” katanya.
Ubaidillah Achmad menegaskan bahwa hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam harus dijaga. ”Kalau ingin bertemu dengan Tuhan penguasa alam, harus bertemu antara sifat lembut Tuhan penguasa alam, dengan sifat lembut hati kita,” katanya.
Melalui tembang Jawa, Gunretno yang merupaka tokoh Sedulur Sikep mengingatkan supaya alam dijaga. Menurutnya, di Indonesia, datangnya bencana seperti banjir dan angin puting beliung disebabkan oleh alam yang rusak karena penambangan besar-besaran. “Tapi keuntungan dari penambangan itu tidak cukup untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh tambang-tambang di Indonesia.” (Lukas Awi Tristanto)
Keterangan foto di atas: Pastor Yohanes Berchmans Haryono MSF (berdiri paling kanan dengan batik merah)