“Tobat, tobat! Tiga bulan ini saya sudah ke mana-mana, tapi tidak ada lagi yang peduli dengan lingkungan hidup. Kami kena bencana serius. Tiga bulan ini saya hanya ngurusin debu, dan komunitas saya pun ikut bergerak,” kata Kepala Yayasan Santo Dominikus Cabang Cirebon Suster M Albertine OP suatu ketika di Jakarta.
Benar, Kota Cirebon, khususnya pesisir Kota Cirebon hampir setiap hari seperti mengalami letusan gunung berapi. Debu yang halus beterbangan ke mana-mana, termasuk ke sekolah-sekolah Santa Maria Cirebon, dan biara Suster-Suster Santo Dominikus (OP) yang jaraknya hanya sekitar 300 meter dari Pelabuhan Cirebon. Tanpa penanganan serius, suster itu mengkhawatirkan bahwa 20 tahun ke depan Kota Cirebon mewarisi generasi yang cacat.
Di pelabuhan itu, PT Pelindo II Cirebon memberikan fasilitas bongkar muat batubara dari Kalimantan. Angin laut, yang kencang khususnya di musim kemarau, meniup tujuh gunungan batubara setinggi rumah di pelabuhan itu. Aktivitas pengerukan dan pemuatan batubara ke ratusan truk, serta lalu lalang truk keluar masuk pelabuhan itu menambah banyaknya debu batubara beterbangan.
Akibatnya, lingkungan pelabuhan dan sekolah-sekolah nampak gelap. Berbagai macam penyakit, teristimewa ISPA, demam, radang tenggorokan dan sakit kulit, menyerang warga khususnya di 10 RW sekitar pelabuhan, teristimewa di pesisir kota, dan persekolahan Santa Maria Cirebon.
Semua lubang yang memungkinkan debu masuk ke setiap kelas lalu ditutup. “Secara bertahap sejak tahun 2013 kita pun memasang AC di semua kelas. Sampai Juni 2015 sudah terpasang 155 unit AC, masing-masing dengan kapasitas 2 PK,” kata Suster Albertine OP lewat medsos kepada PEN@ Katolik di Hari Pekan Doa se-Dunia untuk Peduli Ciptaan, 1 September 2015.
Selain itu, biaya operasional persekolahan dibelokkan untuk penghijauan, dengan pembuatan taman dan penanaman pohon, bahkan mengganti tempat jalan siswa-siswi dari beton menjadi rumput untuk menahan debu. Penanaman 1000 pohon mangrove di pinggir laut ternyata gagal karena masyarakat yang kurang memiliki kesadaran lingkungan mencabutnya.
Ensiklik Paus Fransiskus tentang Lingkungan Hidup “Laudato Si” menambah semangat perjuangan suster itu. “Untuk melestarikan lingkungan hidup, sejak 2001 sudah ditetapkan tanggal 1 September sebagai hari kepedulian terhadap lingkungan hidup yang bersih di Sekolah Santa Maria Cirebon. Maka, Laudato Si’ dan Hari Doa se-Dunia untuk Peduli Ciptaan yang akan dirayakan setiap tahun mulai 1 September ini semakin menginspirasi kita untuk terus berjuang bersama masyarakat.”
Tanggal 1 September 2015, pukul 17.00, Komunitas Biara Santa Maria Cirebon mengundang semua umat untuk Adorasi Ekaristi bersama sesuai anjuran Paus Fransiskus. “Semua itu dengan harapan agar hari doa sedunia itu membuat perjuangan kami untuk udara yang bersih menjadi sebuah gerakan perjuangan yang berdasarkan iman juga,” tegas Suster Albertine.
Dua hari sebelum hari doa sedunia itu, Paul C Pati dari media ini menemui Suster M Albertine OP di biara berusia 108 tahun yang terletak di tengah persekolahan itu. Saat dibangun, bangunan itu langsung menghadap laut tanpa dihalangi jalan raya, rumah sakit, pelabuhan, dan lain-lain, seperti saat ini. Dalam pertemuan itu suster membeberkan suasana dan perjuangannya demi lingkungan bersih bagi masyarakat yang sedang menjerit, 1500 siswa-siswi, para guru dan karyawan, juga ratusan orang yang mengantar anak-anak ke sekolah dan yang datang mengais rejeki di persekolahan itu.
PEN@ Katolik: Sejak kapan bongkar muat batubara itu berlangsung di Pelabuhan Cirebon?
SUSTER M ALBERTINE OP: Sebenarnya, sudah 10 tahun bongkar muat batubara terjadi di situ, tetapi dulu kita tidak menyadari. Kita hanya bingung mengapa banyak debu datang ke sini. Kita berpikir debu itu akibat banyak angkot dan truk yang lalu lalang di jalan raya depan sekolah-sekolah ini. Memang dulu tidak sehebat sekarang, sehingga kita tidak perhatian. Namun rasa panas dan gatal sudah terasa sejak saat itu.
Karena dalam tiga tahun ini terasa banget dampaknya, maka awal tahun 2014, saya mengecek ke sana. Dulu semua orang boleh masuk ke sana. Tetapi, ketika semakin banyak warga yang komplain, pelabuhan itu ditutup dan dilengkapi beberapa pos penjagaan. Orang tidak boleh masuk ke pelabuhan tanpa kartu khusus atau undangan. Ketika ke sana pun, saya ‘nyuri-nyuri’ dengan alasan mau ketemu seorang alumni persekolahan ini yang juga melakukan usaha batubara. Jadi saya pura-pura ke sana untuk bertemu dia. Saya masuk dan ternyata di sana ada tujuh gunungan setinggi rumah.
Saya melihat batubara dipindahkan dengan alat seperti sendok ke ratusan truk. Saat itu, badai angin laut yang besar menerpa dan debunya terbang ke sini, ke sekolah dan biara yang hanya sekitar 300 meter dari tempat itu.
Lalu apa yang suster lakukan?
Saya pun bertemu dengan manajer operasional PT Pelindo II Cirebon. Namun dialog kami sepertinya tidak ada artinya. Dia mengatakan akan mengusahakan. Tetapi tidak ada perubahan. Debu semakin tebal, tebal banget. Daya tahun tubuh anak-anak murid menurun. ISPA cukup tinggi melanda para murid. Saya juga mengalami sesak. Dokter alumni mengatakan, banyak sekali guru dan murid dari sekolah ini mengelu sesak nafas dan demam.
Maka selama April 2014 saya kirim tiga surat ke PT Pelindo Cirebon. Tetapi semua tidak dijawab. Saya pun semakin bersemangat untuk berjuang. Maka, saya langsung kirim surat ke Pelindo Pusat. Namun jawabannya di bulan Mei 2014 mengecewakan dan lucu. Saya ‘ngamuk’ membaca jawaban dari pusat itu, karena penelitian yang menyertai surat itu adalah hasil penelitian tahun 2012-2013. “Pak, kalau betul mau ilmiah ayu bareng-bareng ilmiah. Kalau mau diteliti betul, ayo teliti bareng-bareng. Kalau mau, anak-anak SMA saya pun bisa juga meneliti. Ini bohong besar. Yang kami komplain bulan ini, hari ini, detik ini, kog Bapak memberi hasil penelitian dua tahun lalu?” demikian tanggapan saya lewat telepon.
Bapak itu menjawab bahwa dia orang baru. Baru atau lama itu tanggung jawab Pelindo, jawab saya. Dia lalu mengakui bahwa itu hasil penelitihan 2012. Okay, yang penting dia sudah mengakui hasil penelitian itu tidak benar. Dia juga mengaku angkat tangan soal debu yang sudah ada ketika dia masuk. PT Pelindo, lanjutnya, hanya penyedia fasilitas dan kalau boleh punya pilihan tidak batubara juga bisa. “Kenapa tidak kalau bisa tidak batubara?”
Dia menjawab, mereka sediakan fasilitas untuk kebutuhan masyarakat di Kota Cirebon, untuk ekonomi di Cirebon, serta perusahaan-perusahaan, termasuk perusahaan semen. “Kedua itu lebih urusan Pemkot,” tegasnya, seraya menambahkan bahwa batubara menyuplai dana terbesar untuk Pemkot. Ekonomi di Cirebon yang mana, itu juga tidak jelas.
Suster puas?
Saya tidak puas dengan jawaban itu, karena berarti tidak ada solusi. Kemudian saya kirim surat lagi ke Pelindo Pusat serta ke Kementerian Lingkungan Hidup, termasuk di tingkat propinsi. Kemudian petugas dari kementerian itu datang ke sini lengkap dengan pesawat drone untuk mengukur ambang batas kualitas udara. Namun, ketika mereka datang, aktivitas bongkar muat di pelabuhan dihentikan dulu dan laporan mereka ke pusat mengatakan udara di sini bersih.
Pernah mereka datang lengkap dengan tiga atau empat mobil lengkap dengan berbagai antena. Mereka katakan akan mengukur apa betul batubara mengganggu udara. Saya katakan, “Sebentar, jangan akal-akalan! Bapak datang persis saat udara ini bersih, bukan dua hari atau kemarin saat udara gelap. Jangan-jangan Bapak datang setelah menyetop pengangkutan dari tujuh gunung batubara itu.” Mereka mengatakan tidak dan mengizinkan saya melihat video yang bisa mengontrol aktivitas di pelabuhan.
Saya lalu melihatnya dan mulai menghitung. Ketika saya katakan bahwa di sana ada tujuh gunung tetapi yang aktif hanya dua, dia nampak kaget. Dia tidak tahu bahwa saya pernah ke sana. Kalau hanya dua yang aktif berarti separuh pun tidak. Saya katakan juga, “yang serius membawa suplai debu yang gelap adalah tempat-tempat pengeringan, ada tiga dari ujung sini, dan itu Bapak off-kan. Kalau mau mengukur, saya minta di sana aktif semua. Jadi mohon berita acara jangan dibuat ketika kondisi tidak normal seperti yang kami komplain.”
Ternyata mereka datang dengan staf PT Pelindo, yang sudah lebih dulu menghentikan aktivitas di sana. Besoknya, setelah mereka pergi, ratusan truk melanjutkan bongkar muat. Lalu di sini menjadi gelap. Terus, kita komplain lagi. Mereka datang lagi dan di sana dimatikan lagi.
Kapan terakhir mereka datang?
Staf Kementerian Lingkungan Hidup terakhir datang ke sini tanggal 21 Agustus 2015. Itu yang ketiga kalinya. Peralatan mereka disiagakan selama 24 jam. Tetapi saya tetap nada tinggi, karena di sana off juga. “Pak, kalau betul-betul Kemeterian Lingkungan Hidup peduli pada lingkungan hidup dan mau mengukur dengan fakta yang ada, apa betul harus lewat Pelindo?” tanya saya. Alasan mereka karena perlu berita acara sah yang diketahui oleh PT Pelindo.
Setelah pengukuran, mereka tetap mengatakan “di bawah ambang batas.” Saya lalu mengatakan “tidak masuk akal” karena di sana jelas sudah tiga kali di-off. “Kalau benar mau tahu, besok kembali lagi 24 jam, saat pembongkaran akan terjadi dua kali lipat, karena selama kalian di sini di sana di-off-kan dulu.
Betul, besoknya, Sabtu dan Minggu, 22-23 Agustus 2015, di sini sudah seperti gunung berapi yang melontarkan debunya. Saya bilang, “Tidak sampai 24 jam Anda kembali ke Jakarta, saya duduk di sini melihat 30 truk masuk dalam waktu 20 menit, berarti hampir setiap setengah menit. Tim dokter kami menghitung sekitar 300 truk dalam 24 jam.”
Bagaimana tanggapan masyarakat sekitar pelabuhan?
Masyarakat sendiri menjerit-jerit, tapi mereka berada di bawah RT, RW, Lurah, dan Camat. Di sini ada 10 RW yang terus komplain. Namun mereka membuat paguyuban dengan tuntutan yang bukan peduli lingkungan murni tapi lebih pada kompensasi. Kesepakatan mereka dikirim ke Pelindo Pusat dan tembusan ke semua pejabat pemerintah. Dalam kesepakatan itu mereka meminta agar dari setiap satu tongkang batubara paguyuban itu mendapat dua dump truck batubara yang bisa mereka jual sendiri demi kesejahteraan masyarakat yakni pengobatan, pendidikan dan perbaikan perumahan.
Keadaan menjadi kacau balau. Bulan Januari 2015 ada demo besar di sini. Saya senang. Saya dan seorang dokter pensiunan kepala puskesmas, namanya dr Mulyani, yang mau bergerak dengan saya, secara terpisah menemui para demonstran. Tetapi, ketika saya tanya siapa dan apa yang didemo, ternyata mereka adalah warga pesisir pencari, pengorek atau pemulung sisa batubara yang sedang menuntut agar pelabuhan dibuka kembali untuk mereka. PT Pelindo II telah mensterilkan Pelabuhan Cirebon, sehingga mereka tidak bisa masuk mencari sisa-sisa batubara di kawasan itu. Mereka dan para pemilik pemulung kehilangan pekerjaan. Jadi bukan demo untuk hentikan batubara tetapi demo karena tidak dapat barubara. Saat itu, bersih sekali udara di sini.
Suster pernah mengeluh ke pemerintah Kota Cirebon?
Ya, kita pernah datang ke Walikota Cirebon 2013-2018 Ano Sutrisno, yang kemudian meninggal tanggal 19 Februari 2015. Walikota itu cukup baik dengan kita. Saya katakan kepada walikota itu bahwa ini merupakan persoalan besar bukan hanya untuk Persekolahan Santa Maria, meski sekolah itu paling berat menanggungnya, “namun di sini ada 10 RW menjerit soal kesehatan dan lingkungan hidup.”
Walikota mengatakan, dia tahu dan dia menjanjikan akan memindahkan bongkar muat batubara itu satu mil ke tengah laut dan membuat jaring sehingga efek debu tidak langsung. Kita percaya saja. Ternyata hanya dalam beberapa bulan dia meninggal dengan mudah dan cepat. Dia diganti oleh wakilnya, Nasrudin Aziz.
Karena sudah tak punya channel, maka kita ke Sultan Kasepuhan Cirebon. Saya ajak dr Mulyani, semua kepala sekolah, beberapa warga, pimpinan OSIS, dan suster-suster. Sultan menyanggupi menjadi mediator dalam pertemuan kita dengan walikota, PT Pelindo, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kesehatan. Namun saat menyiapkan data kami memutuskan bahwa pertemuan seperti itu akan percuma saja, karena General Manajer PT Pelindo Cirebon saja sudah angkat tangan. Saya tidak ingin menggunakan proses berbelit.
Sudah audiensi dengan walikota saat ini?
Ketika ada kesempatan, kita audiensi lagi ke Walikota Nasrudin Aziz. Kita datang membawa data dari puskesmas di pesisir yang tidak mau disuap oleh Pelindo, puskesmas yang berjuang bersama kita untuk “perjuangan untuk udara bersih dan kesehatan.” Itu judul perjuangan kita. Dalam presentasi di depan walikota diungkapkan 10 penyakit terberat akibat debu batubara. Pertama adalah ISPA, kedua percernaan, kemudian diare, sakit kulit dan lain-lain. ISPA cukup serius, maka kalau tidak segera diatasi akan membuat paru-paru hitam, yang bersifat masif progresif. 20 tahun kemudian paru-paru akan mengerut dan dari analisis kedokteran itu tidak ada obatnya. Untuk meyakinkan kebenarannya saya melakukan browsing dan bertanya kepada beberapa dokter alumni. Kalau narkoba ada obat. Tapi semua membenarkan bahwa paru-paru hitam yang mengerut karena debu batubara tidak ada obatnya. Satu-satunya cara adalah menghindar dari situ.
Dari pertemuan itu saya minta sedikit jawaban dari walikota. Namun dari serangkaian jawabannya, ternyata dia hanya mau menjawab bahwa dia pun sebagai walikota tidak bisa berbuat apa-apa. Saya katakan bahwa itu adalah kewenangan kepala daerah, karena ketika berkunjung ke manajer operasional Pelindo, mereka katakan mereka pun bisa tidak melakukan batubara, namun mereka melakukannya karena masyarakat membutuhkan dan kebijakan Pemkot mendukung. “Apakah Bapak sebagai kepala daerah bisa mengatasi ini. Dia lalu menjanjikan bahwa bulan Oktober 2015, saat akan didirikan tiang pancang untuk membangun pelabuhan nasional, dia hanya akan menandatangani jika bukan untuk pembongkaran batuabara.”
Tapi dia hanya walikota. Di atasnya ada DPRD. Akhirnya kami pulang dengan menggantung. Saya pun ingat ada beberapa alumni yang jadi anggota DPRD. Saya panggil mereka dan katakan bahwa ini bukan persoalan Santa Maria tetapi persoalan lingkungan hidup yang semakin serius. Saya minta mereka melihat warga pesisir yang menjerit, dan “maaf” memberi kompensasi adalah tindakan pembodohan, semacam menggadekan kesehatan dan lingkungan, yang akibatnya sungguh berbahaya untuk masa depan Kota Cirebon.
Ada yang menawarkan uang kepada suster?
Jujur saya pernah ditanya oleh Manajer Operasional dan General Manager PT Pelindo Cirebon: “Suster mau apa?” Saya pun menjawab, “Pak, yang saya mau adalah udara bersih. Kalau Bapak kasih uang seberapa pun, aktivitas Bapak nanti semakin tidak terkontrol, dan resikonya buruk sekali. Maka kalau saya menerima sama saja saya menggadaikan paru-paru dari aset bangsa, manusia-manusia ini.”
Di pesisir ada sekitar 9900 jiwa. 3000 di antara mereka terkena ISPA. Itu saja baru jumlah yang berobat ke Puskesmas, belum yang ke RS dan yang tak terdeteksi. Kalau dilihat di Dinkes Cirebon, mungkin semua orang Cirebon paru-parunya hitam. Beberapa dokter mulai terbuka mengungkapkannya.
Walikota mengatakan bahwa dia memang mengizinkan warga menerima kompensasi, karena “saya berpikir debu batubara akan tetap ada terus, dan saya tidak mau warga saya rugi dua kali, sudah dapat debu dan tidak dapat kompensasi apa-apa.”
Saya berpikir, bukannya terbalik Pak? Tapi seorang suster minta saya diam, tak usah bertengkar. Saya berpikir lagi, bukanlah kalau bisa menyetop ‘sindikat” ini maka dana bisa difokuskan untuk reklamasi, bukanlah tidak semua warga akan mendapatkan pembagian uang itu, dan bukankah dengan demikian faktor lingkungan tidak akan menjadi lebih baik.
Siapa lagi yang suster temui?
Seminggu kemudian saya bertemu anggota DPR RI dari Partai NasDem Enggartiasto Lukita. Dia mengatakan akan mendesak PT Pelindo untuk membuat jaring. Namun saya bilang, harus dikaji karena batubara itu lembut sekali. “Mau dibuat jaring silikon ukuran berapa, siapa yang mau membuat jaring selembut itu, apakah jaring bisa menahan angin besar? Pasang jaring strimin saja lolos kog,” kata saya.
Dia mengatakan akan coba diatasi, karena tidak mungkin itu dipindahkan. Nah, saya mulai curiga. Maka saya minta akses ke menteri perhubungan. Tapi dia tidak menjawab dan lebih curiga. Akhirnya, seorang mantan anggota DPRD Kota Cirebon memberikan bantuan. Dia mencoba menelusuri berdasarkan data yang kita himpun. Tiga hari lalu dia ke PT Pelindo dengan seorang investor dan polisi. Mereka bertemu general manajernya. Jawaban pun sedikit mengerucut.
Ada solusinya?
Ada tiga hal yang mungkin bisa dilakukan, tetapi itu bukan kewenangan di sini. Yang pertama pasang jaring, katanya. Tapi, investor dari Jepang pernah menawarkan pemasangan jaring. Tetapi ketika melihat lokasi yang begitu luas dan debu batubara yang begitu lembut, mereka mengatakan tidak mungkin dipasang jaring. Di tempat lain memang dipasang jaring karena diameter batubaranya besar, sementara di sini batubara besar diekspor karena kualitasnya bagus. Batubara di sini mungkin kualitas kesekian sehingga tidak mungkin dipasang jaring.
Yang kedua, semua dipindahkan satu mil ke tengah laut, bongkar muat batubara dan peti kemas. Tetapi yang berhak memindahkan ke tengah laut hanyalah kebijakan dan anggaran Menteri Perhubungan karena PT Pelindo berada dibawah Kementerian Perhubungan.
Yang ketiga adalah kemungkinan seperti di Pelabuhan Surabaya. Ketika batubara dari Kalimantan, misalnya, tiba di Surabaya, maka tidak dibuat gunungan telanjang, tetapi gunungan bag atau kantong berisi batubara, karena batubara sudah dimasukkan ke dalam bag plastik atau bahan lain. Gunungan bag mungkin tetap membawa polusi, tetapi itu relatip sedikit. Untuk membuat seperti itu, harus ada payung hukum berupa perda tentang bongkar muat. Nah itu baru kewenangan DPR dan pemkot.
Nah, teman-teman di DPR yang pro lingkungan hidup dan tidak sedia menerima suap sedang menggemparkan opini pembuatan payung hukum itu. Paling bisa itu, meski biaya otomatis membengkak. Ada juga wacana lain. Waktu bertemu manajer operasional PT Pelindo ada usul untuk penyiraman atau membuat hujan buatan, tetapi biaya operasional bertambah karena harus dengan air tawar bukan air laut. Itu pun tidak dilakukan.
Apakah masih ada harapan, Suster?
Analisis Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) memang tidak mereka jalankan di sini. Mungkin semuanya dilanggar. Dan ini sudah serius lho. Sayangnya warga di sini hanya berjuang untuk dua dump truck batubara itu. Dan itu dilegalkan. Pernah saya ke kelurahan dan bertanya tentang warga. Lurah sendiri sudah tak berdaya. Semua main uang. Saya pun sudah beberapa kali dibisikin oleh seseorang: “Suster, sudahlah suster, hanya ada dua, uang atau pistol.”
Pernah saya dan dua dokter puskesmas datang mengikuti pertemuan di PT Pelindo. Di sana suasanya ngeri sekali. Para warga berdiskusi dengan alot mengenai dua dump truck. Kami ditanya dari mana. Kami boleh masuk karena mengatakan dari puskesmas. Saat itu kami pun mengedukasi masyarakat. Itu yang penting, meski yang mereka inginkan bukan udara bersih tetapi duit.
Saya juga menduga semua ini akibat faktor kemiskinan. Para pemulung batubara mengatakan, kalau tidak memunggut sisa-sisa batu bara, mereka harus menarik becak atau menjadi nelayan. Yang peduli lingkungan kecil sekali, sedikit sekali. Di kelurahan sendiri terpecah. Lebih banyak yang menuntut kompensasi daripada yang menuntut agar warga sehat. Saya pernah tanya, Bapak butuh uang atau sehat. Jawabnya, dua-duanya. Ya sudah. “Kalau memilih tidak menerima uang juga tidak menjadi sehat,” katanya. Itu pun pemikiran walikota.
Bahkan orang miskin mengatakan: “Suster, kalau keadaan seperti ini mending perut suster. Suster, kalau ngak begitu kami juga akan mati. Ya sudah ambil.”
Saya masih ada harapan. Saya berharap bisa bertemu Menteri Perhubungan, Ignatius Yonan. Saya pernah mengirim surat kepadanya, tapi mungkin tidak sampai. Saya pun sudah mencoba sms lewat isterinya, tapi belum dibalas.***
Gunungan batubara di Pelabuhan Cirebon
Gunungan batubara di pelabuhan cirebon
Debu batubara di lantai sekolah Santa Maria
Meski dengan sepatu, kaki pun tetap hitam karena debu batubara
Demo pemulung batubara,
Para pemulung batubara memaksa sopir menurunkan Batubara di pintu gerbang pelabuhan. Dari Koran Sindo
Debu masuk ke mana-mana
Sekolah Santa Maria tetap menjaga lingkungan bahkan membelokkan biaya operasional untuk penghijauan.
https://www.google.co.id/webhp?sourceid=chrome-instant&ion=1&espv=2&ie=UTF-8#q=lapor%20presiden.co.id
Saya juga prihatin dengan polusi debu batubara ini……saya juga heran, bahwa masyarakat sekitar pelabuhan lebih memilih untuk memperjuangkan ‘dana CSR’ (baca: kompensasi) ketimbang mencari solusi penanganan debu batubara yang jelas2 sangat merugikan kesehatan … saya dan teman2 yg peduli dengan kondisi ini pernah mengajukan alternatif solusi dengan menggunakan chemical yg ramah lingkungan untuk menanggulangi debu ini… kami juga sudah menghitung biaya penggunaan chemical pengontrol debu sampai biaya penyemprotannya….biaya sangatlah murah dan kami angat meyakini tidak akan terlalu membebani biaya produksi atau harga jual batubara….tapi entah kenapa, pengelola pelabuhan lebih memilih ‘menutup’ mulut masyarakat dengan memberikan konpensasi uang, ketimbang melakukan penyemprotan dalam rangka pengendalian debu batu bara……benar2 aneh…..padahal sekali saya yakinkan, biaya penyemprotan itu tidak seberapa dibandingkan 2 dumptruck batubara sebagai kompensasinya……mudah2an pihak terkait (baca: pengelola pelabuhan) segera terbuka pemikirannya yang terbalik seperti ini…….Maju terus ,Suster…anda tidak sendirian…..
Sangat benar dan dapat dimengerti kekhawatiran suster M.Albertine OP. hanya sayangnya agak naif dan sangat sukar dlsanakan oleh para pengusaha yang hanya memikirkan “keuntungan”, selama masih ada PERMINTAAN dan KEBUTUHAN akan batu-bara yang pada dasarnya membutuhkannya adalah PLN yang butuh batu bara untuk membangkit listrik. Jadi menurut hemat kami maka yang harus diajukan bukan perobahan tempat menampung batu bara, tetapi yang harus diajukan adalah bagaimana mengurangi atau sekaligus menghapus permintaan/ kebutuhan akan batu bara?? Ysitu menawarkan alternatip bahan baku yang berbeda seperti “AIR” dari laut untuk membangkit listrik.
Pemerintah Kota Cirebon jangn tutup hati terhadap kondisi masyarakat. Bapak menduduki jabatan itu karena rakyat. Karenanya rakyat harus dlindungi dan dijamin kesehatanya. Kalau ada yang protes, dengarlah mereka. Semua untuk kebaikan masyarakat dan nama besar pemeritah. Suster maju terus….teruslaah berjuang. Hari ini pasti banyak orang dan kelompok masyarakat yang mungkin mencibir suster dgn berbagai alasan. Tetapi, 20 thn kemudian seperti yang suster katakan, mayarakat Cirebon akan tersadar nuRNINYA dan bngkit berjuang bersama suster.