Untuk membangun sesuatu yang kokoh-kuat, bangunan fisik atau pengembangan diri perlu diletakkan di atas dasar yang kuat. Membangun diri untuk menjadi manusia dan murid Yesus yang sejati pun mesti diletakkan di atas dasar iman, dengan membaca, mendengarkan, dan merenungkan Sabda Tuhan, dan terutama melaksanakannya dalam hidup.
Uskup Manado Mgr Josef Suwatan menegaskan hal ini ketika hendak meletakkan batu pertama Amphiteater Indonesian Youth Day (IYD) 2016, di komplek Wisma Lorenzo Lotta, Senin, 29 Juni 2015.
“Sebagai uskup, saya gembira karena keuskupan kita mendapat kehormatan menjadi tuan rumah IYD 2016. Untuk mempersiapkan sarana pendukung kegiatan ini, dibangunlah amphiteater ini, dengan nama Emmanuel Catholic Youth Centre yang akan menjadi sarana pembentukan orang muda,” jelas uskup.
Sekitar 3000 orang muda dari seluruh Indonesia, lanjut Mgr Suwatan, akan berkumpul dalam doa, tari dan lagu serta renungan mendalam untuk membentuk pribadi orang muda yang tangguh di bangunan yang diperkirakan akan menelan biaya 10 milyar rupiah itu.
Arsitek dan dosen Unika De La Salle Manado asal Prancis, Stanislaus, menjelaskan bahwa amphiteater yang dibangun atas dasar inspirasi dari Mujizat Yesus di Kana itu membenarkan bahwa bangunan yang menampung 3000 orang itu terdiri dari empat bagian utama berbentuk tempayan, ‘yang mengingatkan tempayan anggur sebelum mujizat Kana terjadi.”
Setiap tempayan, lanjutnya, dapat menampung 500 orang. Di samping itu ada bagian lain yang menampung sekitar 1000 orang. Menurut Rektor Unika De La Salle Manado Pastor Revi Tanod Pr, orang-orang muda yang akan datang bagaikan air dan setelah melalui proses pendalaman dan renungan diharapkan akan mengalami perubahan dan kembali sebagai anggur baru yang diutus untuk merasul ke tengah lingkungan asalnya.
Pastor Tanod, penanggungjawab pembangunan, menjelaskan, setelah dipakai dalam IYD, bangunan itu akan menjadi pusat pembinaan orang muda. “Kelompok kecil dari paroki-paroki boleh menggunakan tempayan-tempayan ini sebagai tempat pertemuan dan pembinaan,” kata imam itu seraya menambahkan bahwa akan juga dibangun museum, kapel, gua Maria, dan lapangan olahraga multifungsi.
Pastor Terry Ponomban Pr dari Komkat Keuskupan Manado menjelaskan, nama Emmanuel mengingatkan penyertaan Allah dalam Yesus dalam seluruh perjalanan hidup kita menjadi murid Yesus, dan anak-anak Maria, yang selalu menimba kekuatan dari doa, adorasi dan Ekaristi. Emmanuel juga mengingatkan Komunitas Emmanuel, relawan asal Prancis yang tergabung dalam Fidesco, yang sejak 1990-an mengirim relawan bidang sosial dan bermarkas di Lotta.
Pembangunan itu, lanjut Pastor Ponomban, sekaligus menjadi kado buat Uskup Manado yang merayakan 25 tahun tahbisan sebagai uskup, 29 Juni 2015. Anak-anak CARE angkatan 1-3 dan para suster menyambut kedatangan uskup dengan lagu berjudul “Laudato Si’” karangan Pastor Ponomban.
Peletakan batu pertama pembangunan amphiteater itu dilakukan oleh Mgr Suwatan yang didampingi Pastor Revi Tanod mewakili para imam, Suster Veronika Manaan SMSJ mewakili para biarawan, arsitek Stanislaus, Budi mewakili para tukang dan Hendi Thio mewakili orang muda. Selain itu, batu pertama juga diletakkan oleh pemerintah setempat.
“Emmanuel, nama bangunan ini, mengingatkan bahwa apapun yang bisa dibuat harus dilakukan dan Tuhan akan menggenapinya. Malam puncak perayaan ini memberi ruang bagi lelang barang-barang milik Uskup Suwatan yang disumbangkan untuk pembangunan,” kata Pastor Ponomban seraya menambahkan, selain 10 milyar untuk amphiteater diperlukan juga 8 hingga 10 milyar rupiah untuk IYD.
Sebanyak 40 imam hadir merayakan ulang tahun tahbisan uskup yang didahului dengan doa dan lagu yang dipimpin imam termuda. Sekjen Keuskupan Manado Pastor John Montolalu Pr mengungkapkan bahwa sebagai imam mereka bersyukur atas kehadiran, karya dan penggembalaan Mgr Suwatan dengan moto Credidimus Caritati, “yang mengungkapkan suara kenabian sang uskup yang mengandalkan kekuatan dan penyelenggaraan Allah dan kasih Putera-Nya. Suara kenabian itu hendak diaplikasikan dalam konteks Minahasa, yang khas dengan pohon kelapa.”
Pohon kelapa adalah simbol memberikan diri seutuhnya. Akar, batang, daun, buah, bahkan sabut dan tempurungnya berguna. “Uskup kita hadir dalam semangat pelayanan pastoral yang siap memberikan diri seutuhnya. Ia tampil dalam pastoral kehadiran untuk menghadirkan kasih Allah,” kata imam itu.
Mgr Suwatan menjelaskan, pastoral kehadiran itu hendak memberi makna dalam kebersamaan sebagai Gereja ke dalam, maupun kehadiran Gereja dan uskup dalam kebersamaan dengan gereja dan agama lain, serta dengan pemerintah.
“Saya selalu berusaha hadir dalam setiap undangan pemerintah atau gereja dan agama lain, karena Gereja tidak hadir untuk dirinya sendiri. Meskipun demikian kita tetap dengan prinsip yang menjiwai dan memberi makna bagi kehadiran Gereja itu sendiri. Hal ini amat terasa ketika menjadi ketua KWI, tiga tahun, tiga presiden. Saya gembira karena para imamnya multietnis namun tidak menjadi soal dalam pelaksanaan tugas dan fungsi.
Menanggapi penilaian sejumlah imam bahwa dirinya lamban dalam mengambil keputusan, Mgr Suwatan mengatakan, “Saya hadir sebagai uskup dan gembala, dan bukan direktur, meski unsur manajerial tetap diperhatikan. Intinya, dalam setiap keputusan, saya selalu mempertimbangkan aneka situasi terutama orang yang akan menghadapi keputusan itu.”
Para imam dan uskup kemudian membentuk lingkaran, mengingatkan korona waktu tahbisan, untuk mengungkapkan kebersamaan dalam syukur karena mengambil bagian dalam imamat Yesus. Mereka pun menyanyikan mars Tahun Rohani dan Ametur. (Sales Tapobali)