Sebelum mencapai RS Elizabeth Lela, seorang ibu yang berjalan kaki sejauh 12 kilometer membawa kandungannya terpaksa berhenti dan melahirkan di jalan, di sebuah gubuk reyot milik petani di pinggiran Batik Wair. Anak yang dilahirkan itu kini berusia 51 tahun dan tinggal di “Istana” Maumere sebagai Wakil Bupati Sikka, Flores. Namanya Paolus Nong Susar.
Kisah hidup Paolus Nong Susar kini tersebar lewat buku biografi berjudul “Paolus Nong Susar, Lahir dan Besar di Jalan.” Buku 174 halaman itu diterbitkan oleh Yayasan Flores Sejahtera (Sanres) Maumere dan diluncurkan di Aula Benggoan 3, Maumere, 9 Februari 2015.
Menurut penyunting Dion DB Putra, Wartawan Senior Pos Kupang, biografi itu secara mendetail menggambarkan kenyataan Paolus Nong Susar lahir di pinggir jalan dan besar di ‘jalan’. “Dia bukan dari kelompok elitis, yang kuat kuasa atau keluarga berpunya. Dia anak kampung Gehak yang sejak bocah sakit-sakitan dan menyadari betapa orangtuanya bekerja keras membiayai pendidikannya,” cerita Dion.
Menyadari keadaan itu, Nong Susar belajar, “dengan penuh peluh seluruh, sehingga meraih hasil tidaklah buruk.” Penolakan menapaki imamat yang menjadi cita-citanya tidak menghancurkan daya juang remajanya, lanjutnya. “Justru remaja kurus kerempeng itu terlecut untuk mandiri dengan bekerja apa saja yang halal agar bisa menyambung hidup dan terlebih lagi dapat melanjutkan studi ke perguruan tinggi.”
Nong Susar, lanjut Dion, menikmati sesak-berdesaknya pasar Maumere beraroma tengik amis ikan sebagai papalele (penjual keliling), mahasiswa, guru sekaligus dosen. “Dia memanggang matahari demi mengumpulkan sesen rupiah guna membiayai kuliah di STFK Ledalero sebagai mahasiswa non-frater. Dari tempaan maha berat itulah dia kemudian mampu berkiprah dalam universitas kehidupan sebagai aktivis LSM, penulis, peneliti, fasilitator yang mendapat kesempatan berkelana ke banyak negeri dan melihat serta merasakan denyut nadi kehidupan mulai dari level akar rumput hingga kaum borjuis.”
Lalu, kisah hidup tokoh yang masih aktif memangku jabatan publik di Flores itu terlukis dalam buku. Ini agak kurang lazim, menurut Dion. Namun, “Nong Susar merupakan pengecualian langka. Dengan menerbitkan biografi tatkala masih menjabat, ia membuka jendela dan pintu selebar mungkin bagi siapa saja untuk menyelami, mengkritisi, menafsirkannya.”
Ibarat lukisan, kisah hidupnya merupakan lukisan paling realistis tentang Sikka, Flores, NTT dan Indonesia. Kisah kelahirannya terjadi setengah abad lalu. “Apakah hari ini ketika negeri tercinta memasuki 70 tahun usianya tak ada lagi bayi-bayi mungil yang nasibnya serupa dengan Nong Susar?” tanya Dion.
Kehadiran Nong Susar pada pucuk pemerintahan daerah disambut “harap-harap cemas” oleh Pastor Dr John Mansford Prior SVD, Dosen Teologi Sosial Politik dan Teologi Kontekstual Program Pasca Sarjana STFK Ledalero. “Nong Susar harus buktikan bahwa seseorang bisa meraih jabatan teras kabupaten tanpa sederet janji yang harus dilunasi dan yang bisa mengaburkan, malah mengkhianati cita-cita politiknya,” demikian Pastor Prior.
Nong Susar, jelasnya, berasal dari keluarga sahaja seperti sebagian besar penduduk Maumere. “Syukur alhamdulillah selama ini ia tetap mendekati orang-orang sederhana. Karena itu saya harap dan berdoa supaya dia tidak lekas membelok sehingga cita-citanya dirampas oleh kepentingan partai, penguasa, pengusaha atau golongan tertentu.”
Menurut Pastor Prior, biografi itu sebetulnya hendak “menantang dirinya sendiri” dan mengundang pembaca menjadi saksi-saksi agar dia tidak pernah lupa dari siapa ia dilahirkan dan untuk siapa ia membaktikan hidup. “Jika suatu ketika arah dan kebijakan politik menuntut dia mengkhianati rakyat yang memilih dan menaruh kepercayaan kepadanya, hendaknya ia lekas sadar diri, kenang kembali harga sebuah nurani, ingat untuk siapa siapa ia rela taruh nyawanya dan berani tegap berdiri sebagai tokoh Yosia apapun konsekuensinya.”
Pastor Prior berbicara dalam prolog buku wakil bupati yang jebolan STFK Ledalero itu. “Dari puluhan raja yang pernah memimpin wilayah Israel dan Yudea, hanya seorang yang pernah dipuji para nabi, para penyambung suara hati rakyat. Raja-raja ini merampas harta kekayaan rakyatnya, membebani rakyatnya dengan pajak terlampau tinggi, supaya bisa sendiri hidup seenaknya tanpa sedikit memperdulikan kaum kecil. Hanya Raja Yosia yang berhasil hidup sahaja dan jujur semasa kepemimpinannya di abad ketujuh sebelum Masehi selama 30 tahun (639-609).”
Yosia, lanjut imam SVD itu, merintis era reformasi dan coba mengembalikan pola pemerintahan Yerusalem kepada yang ideal, keadilan sosial dan ciri-ciri perikemanusiaan, sebagaimana digariskan Nabi Musa saat membebaskan bangsanya dari perbudakan di Mesir dan menatanya sebagai masyarakat Allah di kaki Gunung Sinai.
Selain buku itu, Nong Susar pernah menerbitkan “Mengarung Samudra Bangsa, Ekonomi Barter Lembata di Tengah Derasnya Arus Pasar Bebas” dan “Berkotbah di Ladang Ilalang.”
Lalu bagaimana dengan buku baru itu? Menurut sesepuh masyarakat Sikka yang juga politisi dan penulis EP da Gomez, biografi itu menulis bagaimana Paolus Nong Susar berjuang memaknai kehidupan bukan hanya untuk diri sendiri tapi untuk lingkungannya dan seluruh Kabupaten Sikka. “Ia merangkak dari bawah dengan susah payah sampai mencapai puncak karir sebagai wakil Bupati Sikka.” (Yuven Fernandez)