Di samping sebagai aktivis kemanusiaan, Gus Dur adalah seorang kiai yang selalu mengajak orang untuk mengutamakan shalat, doa dan sembahyang, kiai kerakyatan yang mencintai orang-orang kecil, kata Pastor Gabriel Possenti Sindhunata SJ (Romo Sindhu) dalam peresmian Langgar Tombo Ati yang digelar dengan pentas seni di Omah Petroek, Karang Kletak, Hargobinangun, Pakem, Sleman, 25 November 2014.
Acara, yang diselenggarakan untuk mengenang sosok Kiai Haji Abdurrahman Wahid yang biasa disapa Gus Dur, itu digagas dan dikemas oleh Romo Sindhu menampilkan doa, aksi teatrikal, tari dan nyanyian, bahkan diawali dengan doa dari beberapa tradisi iman yang berbeda, termasuk shlawatan dan lagu Nderek Dewi Mariyah.
Beberapa tokoh agama dan budayawan hadir dalam acara yang diguyur gerimis kecil. KH Maman Imanulhaq membaca puisi. Endah Laras menyanyi dua lagu. Pelawak Kirun dan Marwoto berkisah tentang humor Gus Dur. Pastor Aloys Budi Purnomo Pr melagukan lagu Tombo Ati dengan saksofon.
Di tempat pementasan utama, terdapat patung-patung berwarna putih dari presiden-presiden yang pernah memimpin Indonesia. Semuanya duduk, kecuali patung Joko Widodo yang berdiri di belakang para presiden itu. Dalam teatrikal malam itu, mata patung Jokowi ditutup kain hitam sebagai lambang supaya Jokowi memakai mata hati dalam menjalankan kepemerintahannya.
Salah seorang puteri Gus Dur, Inayah Wahid, dalam sambutannya mengatakan bahwa budaya sangat penting. Dikatakan bahwa budaya bukan obyek, bukan hanya tari-tarian yang dipertunjukkan di hotel, bukan hanya lagu-lagu yang dibuat album, “tetapi adalah siapakah kita sebenarnya sebagai manusia.” Budaya, menurutnya, seharusnya ada karena “dia penyampai pesan, nilai, dia adalah seperti apa kita sebenarnya.”
Gus Dur, kata Inayah, tidak pernah ingin diingat sebagai presiden, namun sebagai seorang humanitas. “Dan kebudayaanlah yang menjadikannya seperti itu. Karena budayalah yang membuat dia bekerja sebagai seorang humanis,” katanya. Perempuan yang malam itu juga membaca puisi mengatakan, karena budaya, kita memperjuangkan manusia. “Dengan budayalah kita memperjuangkan diri kita.”
Acara diakhiri dengan peresmian langgar (tempat shalat kecil) yang diberi nama langgar Tombo Ati. “Orang bersembahyang atau shalat membuat tenteram di hati,” kata Romo Sindhu yang meminta agama untuk berpijak pada budaya. “Kebudayaan harus dibela, rekognitisme terhadap realisme kebudayaan harus dibangkitkan,” kata imam itu.
Di depan langgar didirikan patung Gus Dur yang bersayap buroq, gambaran bahwa Gus Dur sudah terbang. Tak jauh dari patung Gus Dur, ada patung kura-kura yang memberi salam kepada Gus Dur dengan menongolkan kepalanya yang berkopiah. Di sampingnya ada binatang Kili yang dalam tradisi Tionghoa dipercaya sebagai penjaga. “Gus Dur adalah kiai yang membela kebudayaan dan diversitasnya,” kata Romo Sindhu.(Lukas Awi Tristanto)