Oleh Paul C Pati
Hari ini Sabtu, 1 November 2014, Gereja Katolik merayakan “Hari Raya Semua Orang Kudus.” Sejak hari ini PEN@ Katolik ingin mengajak pembaca untuk melihat beberapa gambar, peristiwa dan keprihatinan tentang seseorang misionaris yang ditembak oleh tentara Jepang di Langgur, 30 Juli 1942.
Misionaris yang dipercaya, meskipun sedang diusahakan oleh umat setempat, sebagai “seorang martir” bahkan sebagai “seorang kudus” itu bernama Mgr Johannes Aerts MSC, Vikaris Apostolik pertama di Maluku yang tiba di Langgur tanggal 14 Juli 1921.
Saat imam-imam diosesan atau imam-imam praja mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) XI Paguyuban Imam-Imam Diosesan di Indonesia (Unio Indonesia) di Keuskupan Amboina awal Oktober lalu, sebagian peserta mendapat kesempatan untuk live-in di Wilayah Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara (Maltra).
Setelah terbang lebih dari sejam dari Ambon, peserta tiba di Bandara Karel Sadsuitubun. Mereka diterima bukan saja secara resmi oleh wakil uskup dan para imam, Bupati Maltra dan muspida lainnya, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama, tetapi juga secara adat oleh Raja Ibra dan Tokoh Adat Ratschap Ibra.
Di luar bandara begitu banyak umat menanti. Mereka ikut menerima dan mengarak para imam ke Langgur, dengan mobil terbuka dan tertutup, sepeda motor, bahkan dengan kuda, diiringi kelompok pukul tifa di beberapa mobil terbuka.
Yang menarik, bukan saja penyambutan umat sejak dan sepanjang sekitar 25 kilometer dari bandara hingga Kota Langgur, yang dihiasi umbul-umbul serta bendera merah putih dan kuning putih, serta barisan orang sepanjang jalan dengan lambaian tangan, lambaian bendera serta tarian dan senyuman, tetapi kunjungan pertama ke sebuah makam, makam Mgr Johannes Aerts MSC dan kawan-kawan.
Setelah diterima secara adat oleh Raja Faan dan seluruh tokoh adat dalam Ratschap Ohoilim Tahit yang dilengkapi kidung adat oleh 11 perempuan yang duduk beralaskan tikar di jalan antara Gua Maria Langgur dan Katedral Langgur, yang dulu pernah jadi pusat Vikariat Apostolik, para imam projo beserta pendiri dan penasehat Unio Indonesia Mgr Blasius Pujaraharja, ditemani Bupati Maltra Anderias Rentanubun, berarak sekitar 400 meter dipimpin Drumband Seminari Menengah Santo Yudas Thadeus Langgur menuju Taman Ziarah Mgr Aerts MSC.
Di gerbang taman, Mgr Pujaraharja dan para imam diosesan diterima oleh Komuntas MSC Langgur yang menghantar mereka masuk ke “tanah yang sangat bersejarah dan sangat berarti bagi iman di wilayah Maltra, tempat Mgr Aerts MSC dan teman-teman ditembak mati oleh Jepang tanggal 30 Juli 1942,” terdengar sambutan di gerbang itu. “Bagi umat Kei, mereka ini adalah martir,” lanjutnya.
Dia pun mengajak para tamu memasuki taman ziarah untuk berdoa, menabur bunga dan memberkati seluruh umat Maltra. Dalam doa di depan makam itu, Mgr Pujaraharja berkata, “Mereka memang telah gugur, namun justru karena itulah iman umat semakin berkembang, karena darah para martir adalah benih Kristiani.”
Mgr Pujaraharja mengucap syukur kepada Tuhan atas iman mereka yang telah menyerahkan dirinya sebagai saksi, yang berani menyerahkan hidupnya sampai akhir. “Apa yang mereka tunjukkan juga boleh kami alami. Kami yakin mereka telah mengalami kemuliaan bersama-Mu dan menjadi teladan, berkat dan pelindung bagi kami semua yang berziarah di bumi ini. Kami ingin meneruskan perjuangan mereka menjadi saksi Kristus di dalam masyarakat.”
Setelah memberi berkat dan menaburkan bunga di makam itu, seorang imam MSC, Pastor Hans Rettob MSC bercerita tentang Langgur yang dulu pernah menjadi Vikariat Apostolik, adik kandung atau saudara kembar dari Vikariat Apostolik Batavia. “Tapi Langgur lama ditinggalkan dan dilupakan bertahun-tahun oleh Gereja,” tegas imam itu.
Maka, imam itu berharap agar dengan kunjungan Unio Indonesia, Langgur tidak lagi dilupakan dalam sejarah Gereja Indonesia. “Vikariat Apostolik Batavia dan Vikariat Apostolik Papua New Guinea Langgur adalah dua kembar Gereja di Indonesia, tapi Langgur dilupakan bertahun-tahun. Sebelum hirarki terbentuk hanya ada Jakarta dan Langgur, tetapi kenapa itu dilupakan,” jerit Pastor Rettob seraya menegaskan bahwa kehadiran para imam diosesan di taman ziarah itu adalah harapan mereka.
“Kami sedang berjuang agar para misionaris dan martir-martir di tempat ini diberikan penghargaan yang selayaknya sebagai martir. Kami berjuang sendirian. Tolong bersama kami, umat di Kei. Tonggak sejarah dilupakan. Beberapa tahun lalu KAJ merayakan 100 Tahun. Langgur sedih karena Langgur dilupakan. Langgur sedih karena Langgur dilupakan. Dari tempat ini, atas nama Keuskupan Amboina dan rekan-rekan pastores di wilayah ini, kami meminta dukungan semua untuk sedikit mengangkat Langgur yang mulia ini. Tolong diperhatikan. Ada satu pulau kecil yang dilupakan dalam sejarah Gereja.”
Para imam diosesan kemudian meninggalkan taman ziarah, tempat darah para martir, Mgr Aerts dan kawan-kawan ditumpahkan, tempat mereka dimakamkan dan dihormati. Dalam perjalanan melewati Via Dolorosa menuju Unio Projo Langgur, Pastor Rettob bercerita kepada PEN@ Katolik bahwa di tempat yang ditandai salib di taman yang berada di pantai itu Mgr Aerts dan enam rekannya digiring dan ditembak ke luar dan dibawa ke situ dan ditembak. Di tempat itu pula uskup Auksilier Amboina 1982-2009 Mgr Josephus Tethool MSC dimakamkan.
Imam itu bercerita bahwa tahun 1960 tahta vikariat dipindahkan dari Langgur ke Ambon, ibu kota propinsi, “dan sejak pindah itu Langgur perlahan-lahan dilupakan.”
Apa yang sebenarnya diharapkan? “Kita harapkan dukungan untuk perjuangan kami agar Mgr Aerts dijadikan martir, dibeatifikasi. Umat sangat merindukan ini, tetapi tidak ada respons,” kata Pastor Rettob.”***