Guru-guru Katolik harus memiliki karakter positif selanjutnya menjadi teladan bagi peserta didik di sekolah, karena karakter yang baik terbentuk dari proses interaksi antarkomponen pendidikan termasuk para pendidik dan staf pendidikan di sebuah lembaga pendidikan.
Dosen Psikologi Universitas Taruma Negara (Untar) Jakarta, Drs Fidelis Waruwu M.Sc.Ed berbicara dalam Talk Show bertajuk “Pengolahan Diri” yang dihadiri sekitar 50 guru Katolik dari sekolah Katolik dan non-Katolik di wilayah Dekenat Tangerang. Talk Show itu dilaksanakan oleh Komisi Pendidikan (Komdik) KAJ bersama Seksi Pendidikan dari Dewan Paroki Gregorius Agung Kutabumi, Tangerang, di aula paroki itu tanggal 17-18 Mei 2014.
Menurutnya, pendidikan karakter bagi anak-anak tidak lagi berkaitan dengan teori, melainkan keteladanan yang diamati dalam interaksi di sekolah. “Guru-guru terlambat, sering sakit, sering izin, dan ketika mengajar kurang menghargai anak sebagai subjek, bahkan ditengarai tidak menggunakan hati sehingga hasil yang dicapai kurang optimal,” kata pegiat Komdik KAJ itu.
Pendidikan karakter tidak perlu menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah, melainkan perlu berintegrasi dengan mata pelajaran lain di sekolah, dan yang paling penting dalam pendidikan karakter adalah keteladanan, katanya. “Kalau guru-guru disiplin dalam tugas, memeriksa ulangan tepat waktu, bertutur yang sopan, maka otomatis akan ditiru oleh peserta didik,”’ kata pria asal Nias itu.
Fidelis menolak pendidikan karakter yang lebih menekankan teori karena jika diberikan teori maka itu sama halnya dengan mata pelajaran lainnya. Yang paling penting dalam pendidikan karakter, tegasnya, adalah apa yang dilihat dan diamati oleh anak dalam kehidupan setiap hari.
“Kenyataan yang kerap kali dihadapi peserta didik, saat mengurus KTP, membuat SIM dan menerima pelayanan sosial lain, membuka kesempatan bagi pihak lain untuk melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Realitas seperti itu justru menghambat pendidikan karakter anak-anak di sekolah,” katanya.
Yovita Warsi, seorang pengajar di SMK Tangerang membagikan pengalaman anak-anak sekarang yang kurang memiliki sopan santun terhadap guru dan orangtua di rumah. Ia juga merasa bingung ketika menasihati putera-puteri di rumah namun tidak ada kepedulian dari anak-anaknya yang telah bertumbuh menjadi remaja itu.
“Zaman semakin maju, komunikasi semakin canggih. Kalau dinasehati, mereka lebih asyik dengan alat komunikasi (handphone) daripada memperhatikan apa yang dinasihati,” ceritanya. Peserta lain sependapat dengan Warsi dan menegaskan bahwa itu akibat perkembangan ilmu dan teknologi yang menggerus norma-norma yang baik.
Menanggapi hal itu, Fidelis menjelaskan tahap-tahap nilai karakter yang sangat penting dihidupi dengan mengikuti langkah-langkah observasi, imitasi, kebiasaan, dan sifat, kemudian menjadi karakter yang melekat pada anak didik. Pada tahap observasi, anak dilatih untuk melayani, lalu mempraktekkannya menjadi kebiasaan. Dari kebiasaan, lama-kelamaan menjadi sifat, dan dari sifat menjadi karakter yang terus-menerus melekat dalam diri anak. “Tentu saja dalam dalam proses itu orangtua menjadi teladan atau panutan bagi putera-puteri mereka,” tegas Fidelis.
Menutup kegiatan itu, Pastor Ignatius Prasetyo Handoyo Wicaksono Pr, berharap peserta sudah belajar dari pengalaman sesama guru juga para narasumber “sehingga bisa memperkaya pengalaman untuk mengantar anak-anak Katolik untuk bertumbuh dan berkembang lebih baik.” (Konradus R Mangu)