Gereja Katolik sangat menghargai Budaya Dayak, sehingga bukan hanya mendorong tetapi terlibatĀ dalam berbagai pesta budaya, termasuk Pekan Gawai Dayak XXIX yang berlangsung Rumah Betang Pontianak di Pontianak, tanggal 20-24 Mei 2014.
Sejak misi dimulai di Kalimantan Barat tahun 1884 yang ditandai dengan Gereja Santo Fidelis di Sejiram, Keuskupan Sintang, yang masih berdiri saat ini, menurut penasehat pekan Gawai itu,Ā Makarius Sintong, Gereja sudah menghormati budaya penduduk asli Kalimantan Barat yakni Dayak.
āJadi tidak ada persoalan antara Gereja dan Budaya Dayak. Pimpinan Gereja juga terlibat dalam aksi-aksi budaya, misalnya dalam setiap kegiatan Gawai selalu uskup atau pastor hadir untuk membuka Gawai dengan doa,ā tegas Sintong.
Selama ini, dia bahkan mengamati bahwa Gereja Katolik mendorong umat awam untuk terlibat dalam kegiatan budaya. āSebagian besar yang terlibat dalam kepanitiaan ini adalah umat Katolik,ā katanya.
Gawai berkaitan dengan masalah pertanian. Sebenarnya acara itu dilakukan secara tradisional selesai panen padi dan tidak lepas dari unsur budaya asli. Namun, Gawai di Kotamadya Pontianak itu tidak langsung berkaitan dengan pertanian. āDi sini masyarakat kita tidak ada yang berladang,ā jelasnya.
Sehari sebelum Gawai dibuka, yakni tanggal 19 Mei 2014 di tempat yang sama, dilakukan doa tradisional Ngampar Bide yang terdiri dari beberapa ritual untuk memohon izin dan restu Jubata (Yang Mahakuasa) untuk menjaga kelancaran pelaksanaan Gawai. āUpacara itu dilakukan supaya roh halus tidak mengganggu dan acara berjalan lancar dan untuk bersyukur kepada Tuhan atas rezeki tahun lalu serta permohonan rejeki untuk tahun mendatang,ā kata Sintong yang mengakui bahwa pastor tidak dilibatkan dalam doa tradisional itu.
Sebagai penasehat Pekan Gawai itu, Sintong berharap agar umat Katolik menyadari bahwa kegiatan adat itu tidak bertentangan dengan ajaran Gereja, maka seluruh umat Kristen, khususnya Katolik hendaknya terlibat dalam setiap Gawai, dan hendaknya Gawai tidak dipandang sempit. āItu bukan tradisi berhala,ā kata Sintong yang mengakui ada agama yang melihat tradisi itu secara sempit, sebagai menyembah berhala.
Acara tradisional tahunan itu dilaksanakan oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak Kalimantan Barat untuk menggali dan melestarikan kebudayaan Dayak serta memperkaya khazanah budaya bangsa. Acara itu diikuti sebanyak 10 kabupaten dan kota serta 46 sanggar kesenian Dayak Kalbar, kata ketua sekretariat itu, Joseph Odilo Oendoen, yang berharap agar budaya Dayak dikenal bukan saja di dalam tapi di luar negeri.
Kepala Badan Kepegawaian Provinsi Kalbar Kartius membuka acara itu mewakili Gubernur Kalbar, Cornelis. Kartinus berharap agar dengan Pekan Gawai itu budaya Dayak tidak punah tapi dilestarikan.
Dalam berbagai sambutan pembukaan beberapa kali terdengar ucapan salam khas suku Dayak āAdil ka`talino bacuramin ka`saruga basengat ka`jubataā yang selalu dibalas oleh warga suku itu dengan mengatakan āArus … arus … arus.ā Kata-kata itu berarti adil ka`talino (kita harus bersikap adil kepada sesama), bacuramin ka`saruga (kita harus bercermin atau berpandangan hidup seperti perkataan baik di surga) dan basengat ka`jubata (kehidupan manusia itu tergantung kepada Tuhan Yang Maha Esa). Sedangkan arus, arus, arus artinya amin atau ya, atau terus-terus mengalir seperti air dan terus hidup.
Selama Gawai, taman rumah betang Pontianak dilingkari berbagai pameran dan stand yang menjual berbagai produk, khususnya pakaian,Ā aksesorisĀ serta hiasan Dayak. Selain karnaval di beberapa jalan kota Pontianak seusai istirahat makan diĀ hari pembukaan, Gawai juga dilengkapi berbagai lomba yakni Sastra Lisan, Sumpit, Melukis Perisai, Memahat atau Mematung, Tari Dayak Kreasi, Menganyam Manik, Menumbuk dan Menampik Padi, Melukis Kanvas, dan Masakan Tradisional.
Upacara Adat Nganjan, Upacara Adat Nyeser Sanggar Timang Sebayen, dan Upacara Adat Paboreat’n Balenggang bisa juga disaksikan dalam Gawai itu.
Ada juga Pop Singer Anak-Anak, Pop Singer Dewasa, Festival Busana Anak-anak, Festival Bujang Dara Gawai dan Malam Penutupan dan Penobatan Bujang Dara Gawai di malam hari terakhir. (paul c pati)