Pen@ Katolik

Paroki akan taat kalau uskup katakan tak boleh pakai merah

DSCN0980

Misa inkulturasi Imlek atau Tahun Baru Cina di Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda (HSPMTB) Tangerang sudah dirayakan tanggal 4 Februari 2014, namun perayaan yang diangkat oleh PEN@ Indonesia itu menimbulkan banyak pertanyaan umat soal warna kasula serta warna altar yang semuanya serba merah.

Sesuai kalender liturgi, perayaan itu dilaksanakan pada hari biasa, maka seharusnya imam yang memimpin Misa itu mengenakan pakaian berwarna hijau, demikian juga kain yang menutup altar. Dalam tata liturgi, warna merah digunakan pada Misa untuk mengenang atau menghormati para martir.

Konselebran Misa itu, Pastor Dismas Tulolo SJ, menjelaskan kepada PEN@ Indonesia, 11 Februari 2014, bahwa warna merah “sesungguhnya melambangkan kegembiraan dan sukacita bagi keturunan Tionghoa, dan dikenakan bukan hanya dalam suasana Imlek tapi juga dalam upacara perkawinan.”

Maka, pastor rekan di Paroki HSPMTB itu mengakui bahwa warna pakaian dalam Misa 4 Februari itu tidak sesuai dengan liturgi Gereja Katolik. Namun, imam kelahiran Makassar itu berpandangan, dalam inkulturasi ada “perlakuan-perlakuan” berbeda yang diberikan. “Pengecualian penggunaan pakaian merah dimungkinkan dalam liturgi Gereja Katolik, artinya boleh menggunakan pakaian warna merah,” dalam Misa Inkulturasi Imlek, kata imam itu.

Paroki HSPMTB Tangerang adalah bagian dari wilayah Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Maka, tegas imam keturunan Tionghoa itu, Paroki HSPMTB harus tunduk kepada uskup sebagai pemimpin umat Katolik di KAJ. “Seandainya uskup agung KAJ mengatakan tidak boleh menggunakan lagi pakaian warna merah, maka paroki kami siap untuk tunduk atau taat,” kata imam itu.

Imam yang pernah belajar Bahasa Mandarin di Cina dan pernah bertugas di Sumatera Utara itu mengatakan pernah mendapat “protes” dari umat berkaitan dengan penggunaan kasula warna merah. “Di kalangan warga Tionghoa sendiri ada yang menerima kasula merah dan ada yang menolak kasula merah dalam Misa Imlek. Berarti, tak semua warga Tionghoa menyetujui penggunaan kasula dan atribut lain berwarna merah. Alasannya, tidak sesuai dengan warna liturgi Gereja Katolik,” kata Pastor Dismas.

Namun, imam itu menyerahkan kembali semua itu kepada Uskup Agung Jakarta. Jikalau Uskup Agung  Jakarta mengatakan harus menggunakan warna tertentu, misalnya kuning emas, pihaknya pasti mengikutinya. “Kalau uskup tidak keberatan dengan warna merah, kita bisa memakai warna merah,” kata Pastor Dismas Tulolo seraya menambahkan bahwa rata-rata umat merasa bahagia dalam Misa Imlek.

Sarana dalam Ekaristi Kudus, lanjut imam itu, sejatinya membantu umat untuk memuji dan memuliakan Tuhan. “Maka setiap kali merayakan Misa Imlek, kami melakukan evaluasi, baik panitia, umat dan para imam di paroki. Seandainya sarana tersebut tidak cocok dengan iman Katolik maka dihilangkan. Seandainya sarana yang dipakai dalam liturgi tidak membantu umat melakukan perjumpaan dengan Allah, hal itu perlu dihilangkan,” tegas imam itu.

Pastor Dismas membandingkan kehidupan menggereja di Indonesia dengan di negara Cina. Misa Imlek di Indonesia, kata imam itu, lebih meriah daripada Misa Imlek di Hongkong atau Cina. “Kalau di sana, selesai misa langsung makan-makan, sedangkan d sini selesai Misa masih ada pertunjukan barongsai dan acara hiburan lainnya.”

Sebagai seorang keturunan Tionghoa, Pastor Dismas memang seringkali diminta merayakan Misa Imlek, maka dia mengaku selalu berusaha untuk terus memperbaiki dengan terus membaca, mencari informasi tambahan, dan membuat evaluasi, agar Misa Imlek membawa suka cita bagi seluruh umat.

Mungkin untuk membawa suka cita, cerita imam itu, ada paroki di Jakarta bahkan pernah memasukkan barongsai di dalam gereja sebelum Misa dimulai, dan pastor di paroki itu merasa tidak menjadi masalah karena bukan masuk dalam liturgi Ekaristi. “Jadi intinya, hal-hal seperti itu harus dijelaskan kepada umat yang hadir, sehingga tidak menimbulkan pertanyaan.”(Konradus R Mangu)***

Keterangan Foto: Pastor Dismas Tulolo SJ, Foto oleh Konradus R Mangu