Pastor Bernardino Realino Agung Prihartana MSF yang lahir tanggal 7 Oktober 1967 dan ditahbiskan imam tanggal 10 Agustus 1998 adalah seorang imam pemegang lincenciate teologi di Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta. Imam itu pernah studi teologi perkawinan dan keluarga di Istituto Giovanni Paolo II, Roma, dan selesai tahun 2005 dengan disertasi “Faith Education in the Families of disparity of cult marriages.”
Sejak Desember 2007, imam itu bertugas sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Keluarga KWI, yang sejak 2012 diketuai oleh Mgr Fransiskus Kopong Kung menggantikan Mgr Michael Cosmas Angkur OFM. Setelah dua periode berturut-turut, ia mengakhiri tugasnya di penghujung November 2013.
Sebelum menyelesaikan pelayanannya, PEN@ Indonesia mendapat kesempatan menemui Asisten IV Propinsial MSF Propinsi Jawa dan Ketua Dewan Pendidikan Propinsi MSF itu tanggal 8 November 2013 untuk wawancara tentang membangun keluarga Katolik yang berkualitas. Pastor Agung Prihartana bersama Mgr Angkur dan 22 anggota Couples for Christ dari Jakarta menghadiri Pertemuan Keluarga se-Dunia VII di Milan, Italia, 30 Mei-3 Juni 2012.
PEN@ Indonesia: Sebagai Misionaris Keluarga Kudus (MSF), bagaimana Pastor melukiskan keluarga yang kudus itu?
PATOR BERNARDINO REALINO AGUNG PRIHARTANA MSF: Maria dan Yusuf adalah pribadi-pribadi rendah hati, yang selalu mengutamakan kehendak Allah dalam segala situasi. Keputusan yang mereka ambil selalu berdasarkan Sabda dan kehendak Allah. Misalnya, Yusuf tak melakukan yang dipikirkan, yakni secara diam-diam meninggalkan Maria yang sedang hamil, karena ia lebih mengutamakan sabda dan kehendak Allah. Akhirnya ia mengambil keputusan bukan berdasarkan rasionalnya sebagai laki-laki yang bimbang akan tunangannya, tetapi tetap menerima Maria karena Allah menghendakinya.
Kemudian, sikap Yusuf dan Maria tidak mau menonjolkan, apalagi menepuk dada dengan bangga bahwa keluarganya adalah keluarga terpilih, tempat Yesus lahir dan bertumbuh. Kehadiran dan keberadaan Yesus dalam keluarga mereka tidak dijadikan alasan untuk menganggap diri lebih tinggi daripada keluarga lain. Kerendahan hati ini terungkap sangat jelas dalam Kidung Maria. Terpilihnya ia menjadi ibu Yesus, bukan untuk menyombongkan diri, tetapi menjadi alasan seluruh hidupnya untuk memuji dan mengagungkan Tuhan.
Bersama-sama Maria, Yusuf dan Yesus menampakkan kesederhanaan bukan hanya dalam cara hidup mereka, tetapi juga dalam sikap dan ketaatan kepada kehendak Allah.
Penjelmaan Sabda Allah dan hidup tersembunyi Keluarga Kudus Nazareth adalah sumber spiritualitas MSF yang tiada habis-habisnya. Apa maksudnya? Apakah keluarga Katolik boleh menggunakan spiritualitas ini?
Arti ketersembunyian hidup Keluarga Kudus bukanlah karena ketakutan. Keluarga Kudus tidak berteriak-teriak atau berkoar-koar mengenai keistimewaan mereka menjadi tempat kelahiran Putera Allah. Anugerah istimewa itu mereka simpan dalam hati. Namun karya mereka, yakni menghadirkan Yesus Juru Selamat kepada umat manusia sungguh nyata. Jadi keistimewaan yang diterimanya disyukuri dan disimpan dalam kehidupan mereka, bukan dipamerkan.
Dari sinilah kami, Misionaris Keluarga Kudus diajak bersikap yang sama. Jikalau Tuhan menganugerahkan kebaikan dan keistimewaan, bukan untuk disombongkan, tetapi untuk disyukuri dan dijadikan semangat untuk menghadirkan Kristus bagi orang-orang yang kami layani. Keistimewaan yang dianugerahkan Tuhan bukan untuk dijadikan “alat” mencari popularitas diri, kebesaran nama diri sendiri, tetapi untuk menghadirkan Kristus dalam kehidupan ini. Yang terpenting banyak orang yang merindukan Kristus bisa dilegakan melalui pelayanan yang kami lakukan. Apakah orang mengenal kami atau tidak, itu bukan tujuannya.
Saya rasa spiritualitas ini bukan monopoli imam dan bruder MSF, tetapi milik semua umat Katolik. Maka semestinya, kekatolikan bukan hanya sekedar untuk gengsi-gengsian, tetapi membuat kita secara konkret menghadirkan Kristus bagi mereka yang merindukannya. Orang Katolik, ketika berbuat baik dan melakukan karya pelayanan, bukan supaya dilihat orang banyak, dipuji atau disanjung-sanjung dan akhirnya terkenal di masyarakat, tetapi untuk menghadirkan Kristus.
Tentu Pastor dipilih sebagai sekretaris eksekutif Komisi Keluarga KWI karena anggota Ordo dengan spiritualitas ini, dan pernah studi teologi perkawinan dan keluarga. Bagaimana sebenarnya suasana perkawinan dan keluarga Katolik saat ini?
Salah satu karya utama Kongregasi MSF adalah pastoral keluarga, karena dari keluarga lahirlah para imam atau biarawan-biarawati dan tokoh-tokoh Katolik yang akan melaksanakan tugas perutusan Gereja dan membangun kehidupan masyarakat. Bila demikian, pribadi yang disumbangkan bagi karya perutusan Gereja sebagai imam atau biarawan-biarawati dan bagi masyarakat, adalah pribadi yang baik dan dewasa. Dengan motivasi inilah, kongregasi MSF serius dan bersungguh-sungguh menjadi teman yang melayani dan menemani keluarga-keluarga dalam perjuangan membangun kehidupannya.
Belajar teologi perkawinan dan keluarga adalah salah satu cara kami berusaha mempersiapkan diri secara serius agar bisa memberikan pelayanan yang baik bagi keluarga-keluarga.
Rasanya keprihatinan hidup perkawinan dan berkeluarga semakin meningkat. Kita sering melihat betapa mudahnya suami-isteri bercerai dengan alasan sudah tidak jodoh, tidak cocok lagi. Kata perceraian tidak asing lagi di telinga kita. Dari pengalaman pribadi selama enam tahun terakhir, kebanyakan pasangan yang ingin menceritakan situasi dan kondisi perkawinannya sudah “di ujung tanduk.” Mereka merasa perkawinannya tidak bisa dipertahankan. Mayoritas suami-isteri yang konseling mengatakan ingin bercerai. Masukan dan usulan saya hampir tidak ada hasilnya, karena mereka selalu mengatakan sudah melakukan berbagai usaha, perkawinannya tidak bisa dipertahankan. Mereka datang seakan-akan meminta legitimasi atau persetujuan seorang imam untuk bercerai.
Namun di tengah-tengah keprihatinan itu, saya masih sering bertemu dengan pasangan dan keluarga yang sungguh-sungguh harmonis, saling memahami, mengerti dan membantu, terbuka satu sama lain. Keluarga yang dibangunnya sangat baik. Sayangnya keluarga-keluarga harmonis sedikit sekali ditampilkan ke permukaan. Media massa sering dan lebih mudah mengangkat keretakan rumah tangga daripada keharmonisan keluarga, sehingga rasa-rasanya potret perkawinan Katolik saat ini sangat suram. Semestinya diangkat juga pasangan dan keluarga harmonis yang seluruh anggota keluarganya melakukan pelayanan, baik di Gereja maupun masyarakat.
Dengan mengajak keluarga-keluarga ini dalam berbagai pelayanan, kita memberi kesaksian bahwa perkawinan Katolik adalah panggilan hidup yang indah dan menyenangkan. Keharmonisan bukanlah sesuatu yang sulit, apalagi mustahil dialami dalam kehidupan perkawinan dan keluarga. Jatuh-bangun, konflik, permasalahan merupakan bagian yang tak bisa dielakkan dalam perjalanan kehidupan manusia, tapi tidak boleh dijadikan alasan untuk mengakhiri kebaikan hidup perkawinan dan keluarga.
Keluarga Kudus itu pelindung keluarga kristiani. Bagaimana keluarga Katolik berkaca tentang identitas dan perutusan mereka sebagai pendidik nilai-nilai kemanusiaan dan iman?
Kehidupan Keluarga kudus Nazareth tidak jauh berbeda dengan keluarga kita. Artinya, walaupun mereka pilihan Allah, tetapi dalam sejarah hidup Maria dan Yusuf mengalami banyak masalah, bahkan besar dan berat di saat tunangan, yakni mengandung Yesus. Belum selesai masalah itu, disusul masalah lain, sehingga mereka mengungsi, dan saat pengungsian belum berakhir muncul persoalan lain, karena Herodes akan membunuh bayi laki-laki yang dilahirkan. Tetapi persoalan besar dan berat mereka hadapi bersama. Kesulitan tidak menjadi alasan untuk mengakhiri kebersamaan sebagai satu keluarga. Suka-duka mereka hadapi dan tanggung bersama.
Keluarga Katolik semestinya belajar dari Keluarga Kudus. Secara manusiawi persoalan yang dihadapi Maria, Yusuf dan Yesus tidak selesai, tetapi relasi mereka sebagai keluarga tidak retak dan iman mereka pada Allah tidak goyah! Inilah yang semestinya dijadikan teladan bagi keluarga-keluarga Katolik. Dalam kehidupan, kita pasti mengalami dan menghadapi persoalan, entah berat entah ringan. Tetapi bagaimana menghadapi dan mengatasi persoalan sehingga keluarga tetap utuh dan harmonis serta iman tidak goyah? Kedewasaan dan kekokohan imanlah yang menjadi sumber kekuatan keluarga.
Pendidikan anak bisa ditemukan buktinya dalam Injil Lukas, Yesus bertambah besar hikmat-Nya, dikasihi Allah dan sesama. Tentunya keluarga-keluarga Katolik diharapkan menumbuhkan pribadi-pribadi yang bertumbuh dalam kebijaksanaan dan iman.
Benarkah pandangan bahwa era gadget merupakan tantangan dalam mempertahankan keluarga berkualitas?
Kita terbiasa mendengarkan ungkapan ‘hp atau bb mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.” Lalu, gadget yang dikambinghitamkan sebagai penyebab rusaknya relasi dalam keluarga. Benarkah demikian? Gadget tidak salah menurut saya. Yang salah adalah pengguna yang tidak bisa kontrol diri sehingga muncul masalah dan konflik dalam relasi. Bukan mustahil bahwa HP dan BB mendekatkan yang jauh, tanpa melukai yang dekat. Maka marilah memulai hidup dengan pikiran dan tindakan positif, sehingga bisa memanfaatkan gadget untuk mendekatkan yang jauh, dan mempererat yang dekat.
Gadget memang bisa merusak hidup, bila kita tak bisa mengendalikan penggunaannya. Tetapi sebaliknya, gadget bisa menjadi “pelayan” kita untuk menambah pengetahuan dan keharmonisan relasi keluarga bila dimanfaatkan secara positif. Tergantung, apakah gadget yang menjadi pelayan kita ataukah kita yang menjadi pelayan gadget?
Tanggal 8-10 Juni 2013, Komisi Keluarga KWI mengadakan pertemuan dengan komunitas-komunitas keluarga CFC, ME, Choice, Youth dan Single For Christ, PWK Santa Monika untuk diskusi dan sharing menyikapi gadget masuk rumah kita, apakah sebagai perusak keluarga atau sebaliknya menjadi pelayan kita dalam membangun keharmonisan hidup berkeluarga. Ternyata, semua menginginkan agar gadget menjadi pelayan yang membantu keluarga mengalami kebahagiaan hidup. Keluarga-keluarga harus berjuang mewujudkannya.
Apa yang perlu lakukan agar gadget tidak membuyarkan komunikasi antarpribadi?
Pertama, self-control. Kapan menggunakan gadget dan kapan bebas gadget. Kedua, menyadari bahwa komunikasi antarpribadi, bertatap muka, tetap merupakan komunikasi ideal untuk menangkap apa yang disampaikan, diharapkan dan dirindukan oleh orang lain yang berkomunikasi dengan kita. Ketiga, menggunakan gadget untuk mengembangkan pengetahuan, menghangatkan relasi, misalnya menjalin komunikasi dengan keluarga saat berada di luar kota, bahkan mendorong atau menyemangati anggota keluarga, saudara, atau sahabat yang sedang menghadapi persoalan.
Masih bisakah “komunikasi meja makan” diandalkan saat ini?
Menurut saya meja makan adalah tempat istimewa bagi keluarga sampai kapan pun. Di sanalah keluarga bisa bersyukur bersama atas rejeki yang diperoleh hari itu, berbagi cerita pengalaman dan kebaikan, dan melakukan pendidikan: pelayanan, kepekaan terhadap kebutuhan orang lain. Bukankah Yesus menggunakan perjamuan bersama untuk mengajarkan cinta kasih, pelayanan dan pengorbanan? Maka keluarga perlu menyadari dan menghidupi kembali nuansa kasih di meja makan. Sangat disayangkan bila meja makan yang sangat bagus, mewah dan ditata indah di ruang makan setiap hari kosong karena tidak pernah dipakai untuk makan bersama.
Pedoman Pastoral Keluarga sangat baik kalau dijadikan pegangan keluarga Katolik!
Tahun 2011, KWI menerbitkan Pedoman Pastoral Keluarga. Memang itu dipersembahkan untuk keluarga-keluarga Katolik di Indonesia. Pedoman itu menegaskan kembali panggilan hidup berkeluarga, bahwa perkawinan adalah tanda dan sarana kehadiran cinta kasih Allah yang menyelamatkan, keluarga adalah komunitas cinta kasih, pembela kehidupan, Gereja domestika, dan sel masyarakat. Melihat realitas kehidupan sekarang, idealisme panggilan hidup perkawinan Katolik dan berkeluarga bisa hancur di tengah jalan bila pribadi-pribadi dalam keluarga tidak mewaspadai persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Maka, pedoman itu mengarahkan cara keluarga-keluarga bersikap menghadapi dan mengatasi persoalan, supaya mereka tetap menghayati panggilan hidup istimewa itu. Itulah gambaran sekilas pedoman itu.
Apakah Natal tepat untuk menciptakan keluarga berkualitas atau disebut Hari Keluarga?
Pasti bisa memanfaatkan pesta Natal sebagai kesempatan membangun kebersamaan dalam hidup berkeluarga yang berkualitas. Kebersamaan tidak hanya sekedar tinggal bersama saja, tetapi juga meningkatkan kehangatan dan kemesraan relasi, baik melalui acara santai bersama keluarga, pergi ke gereja untuk merayakan Malam Natal bersama keluarga dan seluruh umat Katolik, maupun kebersamaan di kala ada salah satu atau beberapa anggota keluarga sedang berduka.
Peristiwa Natal menyimbolkan bahwa di tengah persoalan dan kesulitan hidup, masih ada sukacita dalam hidup keluarga Kudus Nazareth.
Bagaimana hendaknya keluarga Katolik mendidik anak-anak agar keluarga berkualitas berkesinambungan?
Keluarga adalah sekolah iman dan nilai-nilai kemanusiaan. Bila keluarga membina karakter anggotanya, terutama anak-anak, dengan iman dan kemanusiaan, mereka akan menjadi pribadi berkualitas. Pendidikan ini terjadi dalam relasi dan pertemuan setiap hari, sehingga pendidikan merupakan proses terus menerus. Maka mendidik iman dan nilai-nilai kemanusiaan harus dilakukan setiap hari, dari jam ke jam.
Tahun 2014 akan digelar Sinode Para Uskup tentang keluarga, apa tanggapan pastor?
Luar biasa dan sangat menyenangkan, karena Sinode Luar Biasa 2014 memfokuskan tantangan pastoral keluarga dalam konteks evangelisasi. Inilah bukti nyata bahwa Gereja mendukung keluarga dalam menghayati panggilan hidupnya, sekaligus menghargai kesucian hidup berkeluarga. Para gembala memahami bahwa hidup berkeluarga, di samping indah dan menyenangkan, juga banyak tantangan dan godaan. Maka, keluarga perlu didampingi, diteguhkan, dan dibantu bila mengalami ketidakharmonisan, agar sebagai Gereja Domestika, keluarga bisa melaksanakan tugas perutusannya. Akan sangat baik, bila keluarga-keluarga Katolik Indonesia memberikan dukungan doa pada sinode itu, agar sungguh menyegarkan dan menguatkan peziarahan keluarga-keluarga dalam menghayati panggilannya.
Apa masukan atau persoalan keluarga Katolik di Indonesia apa yang akan dibawa ke sinode itu?
Komisi Keluarga ditugasi mengumpulkan usulan-usulan dan gagasan-gagasan dari keuskupan-keuskupan dan kemudian merangkumnya untuk dikirimkan sebagai usulan dan masukan dari Gereja Indonesia.***
* Foto di atas adalah Pastor Agung Prihartana MSF (kanan) bersama Mgr Jean Laffitte, sekretaris Dewan Kepausan untuk Keluarga, yang dulu adalah dosen pembimbing kedua disertasinya
** Wawancara ini juga dimuat di Majalah Arue edisi Desember 2013 – Januari 2014