Oleh Suster M Alberta OP.
Selesai completorium (ibadat penutup) pukul 20:35, seorang suster yang bertugas di kapel bertanya kepada saya, “Al, rahmat itu berbeda dengan berkat kan ya?” Saya mengira suster itu hanya butuh peneguhan, apalagi suster itu senior saya, maka saya jawab, “Iya, beda…” Ternyata suster itu terus bertanya, “Perbedaannya bagaimana ya?”
Guna menghindari resiko menjadi bingung dan membingungkan suster yang bertanya itu, saya menjawab, “Hmmm… kan sudah jelas, yang satu huruf depannya ‘R’ dan yang satu lagi ‘B’…” Sambil melanjutkan kegiatan menulis intensi misa, suster itu meringis dan berucap, “Anak TK juga tahu, Al…”
Sejujurnya, saya tidak tenang memikirkan pertanyaan itu. Meskipun kata ‘rahmat’ dan ‘berkat’ sering saya dengar bahkan gunakan, ternyata saya belum memahami kedalaman maknanya. Maka saya tergerak untuk bertanya kepada Pastor Andreas Kurniawan OP yang dengan penuh semangat menjawab dan menugasi saya untuk berbagi pemahaman dan permenungannya tentang rahmat dan berkat itu.
Kurang lebih satu setengah tahun lalu, kongregasi mengutus saya untuk melayani karya sosial dan mengajar anak TK di komunitas Cimahi, Bandung. Ketika diajak bicara Pemimpin Kongregasi Suster-Suster Santo Dominikus di Indonesia waktu itu, Suster Lusia OP, tentang apa yang diharapkan lewat perutusan itu, saya langsung membayangkan konsekuensi yang akan dihadapi.
Jujur saja, saya khawatir sekali. Bertugas di dua lingkup karya yang menuntut kehadiran dan perhatian penuh, bagi saya seperti harus duduk di dua bangku dan mengabdi pada dua tuan. Saya khawatir, semua hanya akan berjalan setengah-setengah. Setelah mendengarkan litani kekhawatiran saya, Suster Lusia mengatakan, “Rahmat Tuhan pasti menyertai suster.” Mendengar kalimat bijaksana itu, saya pun memutuskan untuk taat.
Hingga kini, saya melihat kembali bahwa dinamika penghayatan ketaatan yang telah dipilih ini tidak semudah mengeluarkan kalimat “Ya, Suster, saya siap”. Jatuh-bangun, susah-senang harus dialami. Terkadang ada godaan untuk melarikan diri dari tanggung jawab, untuk mencari penghiburan, perhatian dan peneguhan dari orang lain, untuk ber-rasionalisasi, mengeluh dan menjadi tidak peduli. Semuanya terasa sangat ‘normal,’ mengingat kerapuhan diri ini sebagai manusia. Namun, sebagai manusia, saya dan tentu setiap orang, diberi kemampuan untuk tergerak dan sungguh bergerak untuk kembali ke jalur yang benar. Inilah bagian yang sungguh ‘ajaib atau luar biasa’ yang diberikan Tuhan untuk manusia.
Pastor Andreas Kurniawan OP menjelaskan, rahmat (grace, gratia, charis) dapat dimaknai sebagai “hadiah kasih istimewa dari Tuhan yang diberikan secara gratis kepada setiap manusia, supaya manusia bisa semakin dekat dengan Tuhan dan meraih kebahagiaan sejati” dan “Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma” (Mat. 10, 8b).
Penjelasan itu membawa saya untuk mengingat madah ibadat pagi yang mengesan, yang biasa dinyanyikan di hari Kamis: “Bapa, penguasa waktu, lihat kini fajar baru, mulai memancarkan sinar, lambang cahaya yang benar. Rahmat baru ditawarkan, terselubung kejadian, yang menyebarkan undangan, untuk berbakti berkorban. Kami sambut kesempatan, melayani Kristus Tuhan, yang hadir dalam sesama, tersembunyi namun nyata. S’moga pengabdian kami, dijiwai Roh Ilahi, dijadikan karya Putra, demi kemuliaan Bapa. Amin.”
Tiap-tiap hari, jelas imam itu, Tuhan menawarkan rahmat baru. Rahmat itu ada, namun terkadang kita merasa belum mampu menyadarinya. Tuhan ingin kita semakin menyadari kehadiran, perhatian, kasih, keselamatan dan cinta-Nya kepada kita dengan memberikan rahmat-rahmat yang kita butuhkan dalam menjalankan keseharian hidup kita, yaitu dalam kebersamaan kita dengan sesama dan di tengah lingkungan hidup kita. Semua itu Ia berikan, semata-mata agar kita selalu ingat untuk mengarahkan diri kepada Dia, yang adalah Sang Kebahagiaan Sejati.
Sulit menyadari rahmat Tuhan, apabila pikiran dan waktu hanya dihabiskan untuk memikirkan dan mementingkan diri sendiri. Bersikap egois sama dengan menyempitkan dan menggelapkan dunia sendiri, seolah dunia ini hanya dihuni oleh si ‘aku’. Sayang sekali jika kita menutup dunia kita, mengingat dunia ini penuh warna-warni keindahan ciptaan Tuhan dan perkembangannya dari waktu ke waktu, yang justru dapat dilihat jelas ketika kita menyadari makna kehadiran sesama dan alam ciptaan Tuhan.
Menurut pendapat saya, apa yang dihadirkan Tuhan dalam hidup kita adalah bagian dari rahmat Tuhan. Rahmat itu terselubung kejadian, sehingga hanya dapat dipahami dalam terang iman lewat refleksi sehari-hari. Rahmat yang ditawarkan Tuhan mungkin tidak akan tampak sebagai lidah-lidah api yang beterbangan di atas kepala, melainkan sebagai segala sesuatu yang dapat kita bagikan kepada sesama, yang membawa kebaikan, kebenaran, kebahagiaan dan keselamatan di dalam Tuhan.
Spiritualitas Dominikan menekankan “Contemplari et Contemplata Aliis Tradere” (Berkontemplasi dan membagikan buah-buah kontemplasi itu lewat pewartaan). Apa yang telah diterima, baik yang dirasakan sebagai hasil kerja keras maupun yang dirasakan sebagai pemberian cuma-cuma, harus bisa dibagikan. Yesus, dalam perumpamaan tentang orang kaya yang menimbun harta dan menyimpannya untuk dirinya sendiri (Luk. 12:13-21), mengingatkan bahwa apapun yang kita miliki, hendaknya tidak disimpan untuk diri sendiri, melainkan dijadikan sarana untuk menjadi ‘kaya di hadapan Allah’. Bagaimana caranya? Yaitu dengan berbagi dan menjadi berkat bagi sesama.
Kita membawa berkat bagi orang lain, kalau kita berkata-kata baik, supaya orang merasakan berkat Allah juga melalui kita, jelas Pastor Andreas Kurniawan. “Ketika kita mulai berdoa, Allah yang mulai berbicara kepada kita, bukan kita yang langsung komplain sana-sini, nanti malah kita tidak bisa mendengar suara Allah dan tidak dapat berkat. Berkat kita bisa menjadi berkat bagi orang lain.” imam itu juga menambahkan, “Saya tidak bisa kasih rahmat ke suster, ya paling saya kasih ke suster Rahmat Kartolo.”
Kalimat itu ternyata melengkapi penjelasan tentang perbedaan antara rahmat dan berkat. Meskipun kedengarannya lucu, tetapi inilah yang membuat saya sedikit banyak memahami perbedaannya. Rahmat Tuhan dan Rahmat Kartolo (nama orang jika ada) jelas isinya berbeda. Yang bisa saya pahami secara sederhana adalah, “Si Rahmat Kartolo diberi rahmat oleh Tuhan untuk dapat menjadi berkat bagi sesama. Rahmat Kartolo bukan rahmat Tuhan yang sepenuhnya buat saya, tetapi Rahmat Kartolo bisa membawa berkat atau memberkati saya lewat kehadirannya.”
Dari setiap pengalaman yang saya jumpai, saya menemukan dan menyadari bahwa rahmat Tuhan sungguh menyertai saya di mana saja, kapan saja dan di dalam siapa saja. Dalam melaksanakan perutusan sebagai suster yang diberi tanggung-jawab karya sosial, rahmat yang saya rasakan, contohnya adalah rahmat keberanian dan sukacita dalam menghadapi dan menanggapi keluhan-keluhan saudara-saudari yang membutuhkan perhatian saya.
Dalam waktu yang sama, saya merasakan berkat Tuhan lewat kehadiran para suster sekomunitas, para karyawan, anak-anak di karya sosial dan saudara-saudari yang mau berbagi keluh kesah, serta para donatur dan pemerhati karya sosial kami. Dari yang didapatkan itu, saya terdorong untuk menjadi pembawa berkat Tuhan bagi sesama.
Kalau rahmat adalah pemberian gratis dari Tuhan, berkat adalah ‘manifestasi’ atau buah dari rahmat. Karena rahmat Tuhan, kita dapat menjadi berkat bagi sesama dan memberkati sesama. Berkat ini dilihat dan dirasakan buahnya oleh sesama melalui tindakan, kata-kata dan seluruh keberadaan kita yang membawa kebaikan. Rahmat yang tadinya tersembunyi, menjadi nyata lewat kehadiran. Kita menjadi berkat bagi sesama, ketika mau berbagi rahmat yang sudah diberikan oleh Tuhan kepada kita.
“Demikian hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Mat. 5:16).***
refleksinya mantap suster alberta… maju terus ya.. salam dan doaku