“Kita tidak perlu memaksa seseorang seagama dengan kita. Demikian pula, tidak perlu memaksa gaya seseorang harus sama dengan kita … Kita memang bhinneka, dilahirkan sudah bhinneka. Tidak ada yang sama. Semuanya juga bhinneka.”
Profesor Abu Su’ud berbicara dalam silaturahmi kebersamaan yang dihadiri sekitar 70 undangan lintas agama untuk membangun kesepahaman menata masa depan Indonesia di Vihara Buddhagaya Watugong Semarang, 25 Agustus 2013.
Tokoh intelektual Islam itu lalu mengajak peserta untuk menebarkan kasih sayang dan bersatu dalam urusan-urusan kemanusiaan. “Salah satu kasih sayang adalah mempertemukan kita sama kita dalam wadah-wadah yang tidak punya sekat-sekat,” kata profesor itu seraya mengingatkan bahwa bangsa Indonesia merdeka karena berprinsip Bhineka Tunggal Ika.
Arus listrik bhinneka juga, katanya memberi ilustrasi tentang kekuatan perbedaan. “Kalau kita perhatikan arus listrik ada positif, ada negatif. Kalau kita temukan dengan damai, nyala, punya energi,” katanya seraya mengingatkan bahwa Indonesia berlandaskan Pancasila, namun “Pancasila adalah perwujudan politis, bukan agama baru!”
Silaturahmi yang diawali dengan lagu-lagu Jawa Macapat itu mendengar juga pemikiran dari tokoh agama Buddha Halim Wijaya, Penganut Kejawen Kelik, tokoh masyarakat Tionghoa Haryanto Halim, Sri Sultan Surya Alam, dan Pastor Aloys Budi Purnomo Pr.
Halim Wijaya menyampaikan tiga hal di Indonesia yang harus diperbaiki, yakni pendidikan, penegakan hukum, dan infrastruktur. Menurutnya, ketiganya harus diperbaiki untuk menunjang kesejahteraan rakyat Indonesia supaya bisa bangkit dari keterpurukan.
Halim Wijaya mengingatkan pentingnya kaderisasi dan perhatian pada para pemimpin di Indonesia. “Pemimpin semestinya mempunyai cinta kasih universal dan mempunyai sifat welas asih yang tak terbatas. Pemimpin yang kita butuhkan, benar-benar mempunyai jiwa bakti, pengabdian kepada bangsa dan negara, tidak mementingkan kepentingan pribadi, tidak mementingkan golongan,” tegasnya. Dia juga mengajak semua pihak untuk mengutamakan toleransi dan kebersamaan supaya bisa bersatu padu dan bersemangat membangun Indonesia.
Kelik, menyoroti pentingnya pendidikan. Menurutnya, pendidikan semestinya juga sampai menyentuh perasaan seseorang. “Kalau rasa itu dikembangkan maka akan muncul kasih,” katanya.
Menurut Haryanto Halim, kebersamaan sebenarnya sangat natural. “Kalau kita mau menyadari, air yang kita minum, nasi yang kita makan, udara yang kita hirup adalah dari bumi katulistiwa Indonesia ini.”
Baginya, agama seperti pakaian. Semua orang bebas memilihnya. Namun isinya adalah ke-Indonesia-an. “Keindonesiaan itu tidak boleh hilang,” tegasnya seraya menambahkan bahwa banyak orang merasa memiliki Indonesia. “Kalau merasa memiliki harus merawat,” kata Haryanto yang menyayangkan banyak orang merasa memiliki Indonesia, namun yang terjadi adalah merusak. “Jika Indonesia dirawat dengan baik, maka Indonesia akan memberikan imbal baliknya!” tegasnya.
Sri Sultan Surya Alam mengatakan, sejak lahir manusia sudah berbeda, namun perbedaan tidak perlu dipermasalahkan. “Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda, supaya kita saling mengisi,” kata tokoh dari Demak itu. Dia mengingatkan bahwa dalam perbedaan, budaya musyawarah mestinya dihidupi. “Semua permasalahan bisa diselesaikan dengan musyawarah. Ini yang perlu kita tanamkan,” lanjutnya.
Pastor Aloys Budi Purnomo bersyukur dan berbahagia dengan acara yang bertujuan menghadirkan kerukunan, harmoni dan damai sejahtera. Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang itu berharap agar kerukunan tetap dihidupi, “Mari kita rajut, kita lanjutkan dalam kehidupan sehari-hari!”
Selain kekerasan, seorang tokoh muda Katolik, Lukas Awi Tristanto mengamati, Indonesia dirundung kerusakan lingkungan hidup, maka negara perlu membangun konsep persaudaraan semesta. “Persaudaraan itu tidak hanya dilakukan di antara sesama manusia, namun juga dengan alam ciptaan.”
Dia juga menyoroti pentingnya mempersiapkan anak muda agar mampu berdialog dengan segala perbedaan dalam masyarakat “karena pada gilirannya mereka adalah pewaris peradaban masa depan.”
Pandita Buddha Henry Basuki sebagai tuan rumah menjelaskan bahwa acara itu diadakan dalam rangka mempertemukan pribadi-pribadi yang mempunyai potensi sebagai pengampu, pengayom, bahkan panutan masyarakat. “Harapan kami pertemuan ini tidak berhenti di sini, tapi mengumpulkan para pemuka masyarakat dari berbagai agama, budaya dan etnis, sebagai gambaran indahnya Indonesia yang majemuk dan pluralis.”***