Seminar umum yang diselenggarakan di sebuah paroki di Surabaya baru-baru ini sepakat bahwa pluralitas adalah sebuah model dan modal umat beragama yang beraneka ragam dalam mewujudkan kesejahteraan umum.
Wakil-wakil agama Katolik, Islam, Kristen, Hindu, Kong Hu Cu, serta Bimas Katolik membenarkan dan mendukung pernyataan itu dalam makalah mereka pada seminar bertema “Pluralitas sebuah model dan modal mewujudkan kesejahteraan umum” di Paroki Redemptor Mundi, Surabaya, 24 Agustus 2013.
Seminar itu dilaksanakan dalam rangka HUT ke-86 Kemerdekaan RI dan HUT Paroki Redemptor Mundi, yang diresmikan oleh Mgr Johanes Hadiwikarta, tanggal 24 November 1996.
“Indonesia itu kaya dan seharusnya rakyatnya sejahtera. Apa saja yang dimiliki negara ini begitu indah. Keberagaman dari Sabang sampai Merauke seharusnya membuat kita bangga. Perbedaan yang ada hendaknya tidak membuat kita sempit atau tertutup, tetapi kebanggaan sebagai ciptaan Allah, yang pada gilirannya membuat kita sejahtera dan bahagia,” kata Pastor Andreas Kurniawan OP.
Kepala Paroki Redemptor Mundi itu menganjurkan agar sekitar 200 peserta seminar itu saling belajar dan berani membuka diri, karena kalau tidak, “kita akan terkurung dan merasa paling hebat dari galanya.”
Sebagai ciptaan Tuhan, lanjut imam itu, manusia diajarkan bukan hanya untuk berdoa tapi untuk mengerti sesama. “Kita punya modal bersama, Bhinneka Tunggal Ika, yang kita sungguh kagumi, dan terus kita pertahankan sejak berdirinya bangsa ini. Semoga seminar ini membuat kita saling mengenal dan memahami satu dengan yang lain,” kata Pastor Andreas Kurniawan.
Seminar dengan moderator Nur Hafid, dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mendengarkan masukan dari direktur The Center for Research and Inter-Religious Dialogue (CRID) Pastor Johanes Robini Marianto OP, kepala FKUB Surabaya Imam Ghazali Said, serta Pendeta Bambang D Elia dari Gereja Pentakosta, I Wayan Suraba dari Hindu, Pandita Dharma Saputra Irwan Pontoh dari Budha, Gatot Seger Santosa dari Kong Hu Cu, dan Pribadi Siswo Gunantoro dari Pangestu.
Menurut Hafid, para pendiri bangsa dengan rendah hati membuat pluralitas sebagai modal untuk mewujudkan kemerdekaan. Kini bangsa-bangsa lain menjadikan pluralitas di Indonesia sebagai model dalam menghadapi keberagaman di negaranya. “Kita masih negara dengan pluralitas tinggi,” tegasnya.
Pastor Robini menegaskan, keberagaman dan masalahnya bukan khas Indonesia. Namun, ketika negara-negara lain masih mencari format keberagaman, Indonesia sudah memilikinya sejak 1945. “Marilah kembali kepada yang sudah kita punya, yang orang lain belum punya itu,” kata imam itu.
Selain menggambarkan Piagam Madinah, Imam Ghazali Said menegaskan, di semua rumah ibadah dari agama mana pun nama Allah disebut, semua tempat ibadah digunakan untuk berzikir kepada Allah. “Perbedaan bukan substansi tapi istilah. Kalau sudah sama, tinggal koordinasi untuk menyejahterakan.”
Iwan Pontoh mengatakan, semua tradisi agama besar pada dasarnya membawa pesan sama, yaitu cinta, kasih sayang dan pengampunan. Dia menceritakan tentang Bhiksu Thich Nhat Hanh yang tidak segan mengutip ajaran Kristus yang paralel dengan ajaran Buddha.
“Di pertapaannya, beliau menempatkan patung Buddha dan Yesus di atas altar dan menghormatinya sebagai leluhur di bidang spiritual. Ini hanya dapat dimengerti oleh mereka yang memandang patung itu bukanlah berhala,” kata Irwan seraya mengutip Living Buddha, Living Christ (1995), di mana biksu itu mengatakan: “When you are truly happy Christian, you are also a Buddhist. And vice versa”.
Pembimas Katolik Jawa Timur, Robertus Angkowo MM, yang menjelaskan tentang kebijakan dan strategi kerukunan umat beragama di Indonesia, dan mengajak umat Katolik agar menciptakan kegiatan bersama dimulai dari yang kasatmata, yang dekat dengan keseharian hidup.
“Jalinlah kerjasama dengan kelompok non-Katolik, sebab Gereja Katolik (baca: hirarki) tidak mungkin melakukannya sendirian. Gereja harus terbuka dengan agama-agama lain, dengan menciptakan kerjasama atau jejaring lintas sektoral demi terciptanya keharmonisan hidup bersama,” pintanya.***