Organisasi lintas iman lakukan dialog kemanusiaan bersama isteri Gus Dur

0
2569

Buka Bersama Ibu Sinta

 

“Kita ini warga NKRI. NKRI itu apa anak-anak?” tanya Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid kepada puluhan anak panti asuhan dan komunitas anak jalanan yang duduk bersila di hadapannya. Anak-anak serentak menjawab, “Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Mantan Ibu Negara itu meminta agar bangsa Indonesia, meski berbeda agama, suku, ras, hingga nasib, tetap satu. “Pluralisme harus bermakna saling menghormati dan menyayangi,” katanya seraya menegaskan bahwa “Ramadan itu momen tepat untuk menunjukkan toleransi terhadap umat beragama lain.”

Sinta Nuriyah Wahid, menjadi pembicara dalam dialog kemanusiaan bertajuk “Puasa: Sekolah Untuk Kesabaran dan Kejujuran” yang berlangsung di Halaman SD Santo Yusuf, belakang Katedral Bandung, 16 Juli 2013 dan dihadiri oleh 500 orang lebih.

“Terbukti sekarang kita bisa berkumpul di sini, dengan perbedaan kita masing-masing, untuk mendukung umat Muslim yang sedang beribadah puasa,” kata Sinta seraya menjelaskan bahwa puasa adalah pembelajaran kejujuran dan kesabaran melalui menahan lapar, kemarahan dan berbagai nafsu. “Kejujuran hanya kita dan Tuhan yang tahu.”

Menurut Ignatius Yunanto dari Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Bandung yang mengkoordinir dialog kemanusiaan itu, acara tahun ini diselenggarakan oleh berbagai macam organisasi atau lembaga lintas bidang dan lintas SARA.

Selain dengan komisi itu, tahun ini Yayasan Puan Amal Hayati bekerjasama dengan Paroki Katedral Bandung, Komisi HAK Keuskupan Bandung, ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika), GP Ansor NU Cabang Kota Bandung, IPNU Kota Bandung, Komunitas Percik Insani, Pajero Sport Family, Himpunan Mahasiswa Maluku Utara, Taman Belajar Al-Alfifiyah, Solidaritas Rakyat Bandung (Sorban), Jakatarub (Jaringan Kerja Antar Umat Beragama), WPA (Warga Peduli Aids) Kebon Pisang, Kerabat Kerja Ibu Teresa, PMKRI Bandung, dan jejaring kerja kemanusiaan.

“Kelompok, lembaga, dan organisasi ini berkomitmen bahwa bulan puasa sebagai bentuk refleksi dan pembelajaran akan keimanan, sekaligus ruang belajar menciptakan keharmonisan hidup bermasyarakat,” kata Yunanto kepada PEN@ Indonesia.

Buka Bersama dilengkapi dialog terbuka dan jujur tentang persoalan nyata itu diselenggarakan bersama tukang becak, pengamen, pemulung, tukang parkir, anak jalanan, pedagang kaki lima, anak-anak berkebutuhan khusus, difabel, buruh pabrik, kaum dhuafa dan kelompok marjinal. “Inilah dialog kemanusiaan,” tegas Yunanto.

Tentang tema, kata koordinator dialog itu, di tengah masyarakat beragam secara teologis, sosiologis, etnis maupun ideologis, dan di tengah kesengsaraan dan penderitaan yang sedang mereka alami saat ini, muncul kelompok atau golongan yang mencoba mengambil keuntungan demi kepentingan sendiri. “Dengan mengatasnamakan agama, mereka mengotak-atik kondisi sosial politik yang sedang tarik-menarik kepentingan, sehingga mudah menggerogoti sendi-sendi keutuhan bangsa dan negara.”

Selain itu, katanya, “mereka mencoba membangun negara sesuai keinginan dan cita-cita mereka dengan menafikan perbedaan sebagai realitas yang harus diterima, bahkan dengan menggilas apa saja yang berbeda dengan diri dan kelompoknya.”

Dalam kondisi seperti itu, saat jiwa dan hati manusia sedang terjebak dalam pragmatisme dan simbolisme sehingga menafikan keberagaman sebagai fitrah kehidupan, maka yang perlu kita lakukan adalah, “menumbuhkan kembali semangat dan kesadaran akan pentingnya hidup bersama secara damai, dengan menghargai dan menerima setiap perbedaan yang ada.”

Maka, lanjutnya, kegiatan berbuka puasa itu diisi tanya jawab seputar pergulatan mereka meretas kemiskinan, menemukan solusi-solusi sederhana, diselingi tampilan kreasi dari beberapa kelompok masyarakat. “Tujuan kegiatan ini untuk memperkuat tali persaudaraan dan kebersamaan antarumat beragama, demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, sekaligus menjadi bagian pendidikan warga (civic education) tentang pentingnya menguatkan karakter bangsa Indonesia yang penuh toleransi dan saling menghargai serta menghormati perbedaan.”

Abdul Rozak, Ketua GP Anshor Kota Bandung, mengatakan seperti dilaporkan oleh Tribun bahwa selain mengisi kegiatan bulan Ramadan, acara itu menyebarkan gagasan pluralisme Gus Dur. “Pluralisme bukan dalam konsep menengah ke atas, tapi menengah ke bawah. Teman-teman yang diundang dari kaum minoritas, ada anak-anak jalanan, pengidap HIV/AIDS, tukang parkir dan panti asuhan. Lintas agama, lintas status, lintas golongan,” ujarnya.

Kegiatan bersama Sinta Nuriyah dilanjutkan dengan sahur bersama di Kampung Adat Cireundeu, Cimahi. “Kami bersama komunitas lain selalu melakukan kegiatan peringatan di hari-hari besar agama. Bentuknya berupa diskusi, dialog, serta kajian secara keagamaan dan kebangsaan,” katanya.

Suster Irena Handayani OSU dari Kerabat Kerja Ibu Teresa mengatakan, gabungan komunitas itu selalu mengadakan acara setiap hari kebesaran agama. Saat Natal misalnya, seusai Misa, ada makan bersama, bahkan umat Kristen diberikan bunga oleh umat beragama lain, demikian juga saat Lebaran, umat Islam diberikan bunga oleh umat beragama lain. “Di sini tidak ada Kristenisasi, Islamisasi, dan sebagainya. Kami berbagi sebagai warga Indonesia, kami mendukung Bhinneka Tunggal Ika,” ujarnya***