Pen@ Katolik

Suster Gaby OP pimpin sekolah Katolik dengan 255 siswa Muslim dan 16 Katolik

 

Wawancara dengan suster kepala SMK Yos Sudarso, Majenang

SUSTER GABRIELLA SUYATNI OP, lahir 50 tahun lalu di Moyudan, Yogyakarta. Lulusan SMP Pangudi Luhur itu masuk SPG PGRI dan menyelesaikan S1 Bimbingan Konseling di Universitas Sanatha Dharma, Yogyakarta.

Suster yang akrab dipanggil Suster Gaby tinggal bersama dua suster di Susteran OP Majenang dan menjadi kepala  SMK Yos Sudarso Majenang, yang didirikan tahun 1983 oleh Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS), pimpinan Pastor Patrick Edward Charlie Burrows OMI (Romo Carolus).

Di SMK Yos Sudarso dengan jurusan busana butik, pemasaran dan akuntansi yang memiliki misi ‘memanusiakan manusia dengan arah mengentaskan kemiskinan lewat berbagai macam cara’ itu Suster Gaby mencintai anak didiknya laksana seorang ibu.

Baru-baru ini Paul C. Pati dari PEN@ Indonesia mewawancarai Suster Gaby di Purwokerto untuk mendengar ketulusannya menghidupkan 43 anak asuh, yang hanya satu dari mereka beragama Katolik.

PEN@ INDONESIA: Berapa jumlah murid dan apa misi sekolah itu?

SUSTER GABRIELLA SUYATINI OP: Jumlah murid di sekolah saya 241 orang, 93 pria dan 148 wanita. Hanya 16 dari jumlah itu beragama Katolik, yang lain Muslim. Sekolah Katolik itu menyiapkan fasilitas bagi orang Muslim, bahkan guru tetap agama bukan guru agama Katolik, tetapi guru agama Islam. Guru agama Katolik hanya honor.

Salah satu misi SMK itu adalah membantu masyarakat meningkatkan taraf hidup, bukan dengan memberi materi, tetapi mendirikan sekolah untuk orang miskin. Pendidikan di sekolah itu di luar standar karena ekonomi siswa-siswinya mayoritas menengah ke bawah.

Bagaimana guru-gurunya?

Ketika menjadi guru di Yayasan Santo Dominikus Purwokerto, semua teman guru berkualitas, bersih, rapi dan tidak ada yang terlambat. Di SMK Yos Sudarso Majenang, guru terlambat itu biasa. Dari pengalaman saya selama di situ, belum pernah satu hari pun tidak ada guru terlambat. Memprihatinkan, guru yang terlambat seperti tidak merasa bersalah.

Bagaimana keadaan murid-muridnya?

Sebagaimana sekolah-sekolah di pelosok, beberapa anak SD hingga SMP dan SMK di Majenang memiliki kebiasaan merokok karena latar belakang keluarga. Saya tertantang, bagaimana mencintai dengan tulus orang yang kata orang ‘tidak layak dicintai’. Dalam doa saya katakan, seandainya mereka adalah saya, Tuhan pasti mencintai saya seperti itu. Mungkin saya dicintai Tuhan tidak sesuai harapan-Nya. Allah menciptakan saya dengan harapan seperti itu tetapi kenyataannya menjadi seperti ini. Tetapi, cinta Allah tidak berkurang. Justru di situ saya rasakan berkat melimpah terus dalam hidup saya.

Apa realisasi cinta suster kepada mereka?

Saya mencintai mereka tanpa syarat. Kalau ada yang bolos, saya bersama para guru mencari informasi tentang anak itu. Kebanyakan yang bolos laki-laki. Saya katakan, kalau begitu bagaimana nanti kamu bertanggung jawab dengan isteri dan anak-anakmu? Kalau kamu baik, kemiskinan keluargamu akan teratasi. Kalau seperti ini nanti kamu kerja ala kadarnya dengan upah ala kadarnya, karena dirimu sendiri ala kadarnya.

Untuk anak-anak kelas 3 yang les sesudah pulang sekolah, saya sediakan magic com dan beras dari donatur. Saat istirahat kedua mereka masak, salah satu anak saya beri 5000 rupiah untuk beli sayur. Saat pulang mereka makan bersama. Sekarang saya tak lagi memberi uang, karena seorang pemilik rumah makan tersentuh dan menawarkan sayur gratis. Saya minta anak-anak ambil sendiri sayur itu.

Saya terharu melihat mereka makan. Di dunia seperti sekarang, mereka makan bersama bukan dengan piring. Sayur dan nasi dituangkan semua ke baki. Mereka mengelilinginya dan makan bersama. Saya kagum dengan kesatuan dan kebersamaan mereka.

Ada pengalaman menarik lain?

Saya pernah mengunjungi keluarga dengan lima anak. Orangtuanya bekerja sebagai pemetik kangkung dari jam 10 malam sampai 5 pagi. Gajinya 25 ribu rupiah. Rumahnya tidak ada kamar mandi. Anak remaja semua mandi di ruangan yang hanya ditutup karung beras. Mereka makan dan tidur di satu ruangan. Di samping tempat tidur terletak tungku.

Tiga  anak keluarga itu kini menjadi anak asuh saya. Sebenarnya kakak tertua sudah tiga tahun tidak sekolah setelah lulus SMP. Karena berpikir dia perlu juga mengangkat ekonomi keluarga, saya bertanya, ‘Mas mau sekolah?” Dia malu dan menolak, karena adik-adiknya sudah jadi anak asuh saya, merasa sudah tua, dan malu ngak bisa ikuti pelajaran.

Tapi saya katakan, “Tidak ada orang bisa mengalahkan kehendak sendiri, kalau maunya tidur, disuruh berlari dia akan tetap tidur. Silahkan tanya pada kehendakmu sendiri, mau berhasil atau tidak, mau baik atau tidak, mau lulus SMP, SMK atau Perguruan Tinggi.” Dia masih mikir. “Kalau suster pindah siapa yang biayai saya?” tanya dia. “Itu soal gampang Mas. Ada bank, bisa transfer. Kalau saya minta izin ke Majenang untuk mengurus kalian, pasti boleh oleh pemimpin saya,” jawab saya. Karena masih mikir, saya tinggalkan formulir dengan pesan, “kalau minat, diisi saja, kalau tidak, ngak apa-apa.”

Ternyata dia mengisi formulir dan kini sekelas dengan adiknya. Dia lebih pintar dari adiknya. Karena mau lebih pintar matematika, saya setuju usulannya untuk les. Kebetulan ada guru Katolik yang mau memberi les dengan harga 50 ribu rupiah sebulan untuk anak asuh saya.

Ketiga anak itu tidak bayar uang apa pun. Bahkan, kalau di susteran ada beras kita kasih kepada mereka. Saya menangis mendengar bahwa mereka setiap pagi hanya sarapan dengan sambel, padahal makanan di susteran sering tidak habis. Kalau ada makanan di susteran kita panggil mereka.

Suster biayai semua ongkos sekolah mereka?

Ketiga anak itu adalah bagian dari 10 anak asuh yang saya biayai semua, SPP, uang makan dan uang jalan. Saya punya 43 anak asuh. Hanya satu beragama Katolik. Khusus untuk anak-anak dari pemetik kangkung itu saya pinjamkan sepeda sumbangan seorang umat Katolik.

Anak-anak didik saya umumnya naik motor dan jalan kaki. Mereka lebih bangga jalan kaki daripada turun naik sepeda. Nampaknya masih ada gambaran bahwa naik sepeda itu rendah. Memang saya mengerti karena mereka masih remaja, masih mencari harga diri.

Kami masih merencanakan pembiayaan berkelanjutan bagi ketiga anak itu untuk meneruskan pendidikan setelah tamat dari SMK.

Apakah anak-anak asuh suka membantu suster juga?

Ya, kalau ada waktu kosong, dengan suka rela mereka datang ke rumahku untuk nyapu, ngepel, cabut rumput atau bersihkan kebun. Kalau mereka datang tentu saya beri makanan, tapi masak sendiri. Yang lain kerja, yang lain masak.

Mereka terlibat kegiatan sosial. Misalnya, mereka jalan dari SMK menuju gereja. Dalam perjalanan mereka memungut sampah dan memasukkan dalam tas kresek yang mereka bawa. Kami hanya minta melakukan yang baik. Namun lewat analisa, kami menemukan masalah sosial yang besar adalah sampah. Mereka menyadari kalau mau hidup sehat harus buang sampah ke tempatnya.

Apakah anak-anak itu tahu bahwa suster beragama lain?

Mereka tahu. Bahkan mereka bertanya mengapa saya, orang Katolik, mau bantu orang Muslim. Saya jawab, ‘Kami bukan membantu agamanya tapi membantu orangnya.’ Kami harus membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan, apapun agamanya.

Dulu ketika masih guru, ada siswa mengatakan … ‘Eh kafir!’. Lalu saya katakan, ‘Kalau saya kafir, nanti kamu menjadi pintar karena orang kafir, karena saya mengajar kamu.’  Hanya sekali itu saya mendengar anak mengatakan saya kafir.

Kalau teman suster mampir, mereka katakan “kami mau lihat suster lain, bukan suster saja.” Saya ajak mereka ke rumah dan katakan, “Susternya pingin bakso.” Langsung mereka belikan bakso, siapkan mangkok dan mencucinya selesai digunakan. Bahkan kalau ada doa lingkungan, mereka siapkan tikar.

Apakah di Majenang ada paroki?

Ada. Paroki Santa Theresia Majenang diresmikan tanggal 1 Oktober 2010. Kalau saya datang membersihkan gereja, anak-anak mengajak teman-teman lain untuk membantu menyapu dan mengepel. Kalau Gereja mengadakan aksi sosial, mereka yang membungkus sembako serta membagikannya. Saat ada Hari Raya Gereja pun mereka ikut terlibat, misalnya hari Minggu Palma mereka membawa palma.

Tentu semua itu tidak bertujuan mengkatolikkan mereka. Bagaimana mereka tahu itu?

Saya katakan sejak awal bahwa, “Saya bantu kamu, tapi kamu tidak boleh Katolik. Begitu kamu Katolik, saya dikira mengkatolikkan dan cinta kasih kami terhambat. Maka silahkan sholat lebih rajin, dan jangan menjadi Katolik.” Buktinya, yang tertua dari kakak-beradik yang saya sebut tadi tetap guru ngaji untuk anak SD. Setiap azan, dia yang pimpin sholat, dia imamnya.

Dengan menjadi murid dan bekerja dengan saya mereka lebih rajin sholat. Kalau tidak sholat, saya tegur dengan mengatakan bahwa kehidupanmu tidak kuat tapi rapuh. “Kalau kamu tidak terbiasa dengan udara Allah, nanti Allah memberi surga kamu tidak kerasan. Tuhan kasih surga, tapi karena tidak biasa ber-AC, kamu jauh-jauh dari AC, padahal itu AC dari Tuhan. Kamu harus biasakan diri dengan udara Allah. Udara Allah adalah kebaikan. Tidak ada lain!”

Mereka tidak merasa berdosa masuk gereja atau kerja dengan suster?

Tidak. Sebelumnya saya tanya, “Kalau kamu masuk gereja berdosa nggak?” Mereka jawab tidak. “Di agamamu diajarkan ngak?” Mereka jawab, “Ngak!” Maka, ketika ke Yogyakarta untuk Pesta 25 Tahun Imamat seorang imam, dua anak asuh ikut. Demikian juga ketika menghadiri Misa Pernikahan, mereka duduk di depan menyaksikan upacara pernikahan.

Mereka bertanya tentang artinya salib. Saya jelaskan bahwa untuk menjadi sempurna seseorang bukan saja harus dekat dengan Allah tapi juga dengan sesama. Kalau manusia punya hubungan baik dengan Allah tetapi tidak baik dengan sesama, dia tidak dapat kesempurnaan di dalam Allah.

Mereka mulai terbuka. Tapi ada yang bertanya, “Suster di tempat suster ada yang najis, ngak?” Saya bilang ada, tapi najis bukan yang masuk tapi yang keluar. “Kalau saya marah tanpa alasan, itu bisa najis.” Saya menjelaskan tentang perbedaan roh jahat dan roh baik dengan mengatakan bahwa roh jahat adalah kemalasan, mabuk-mabukan, merokok.

Apa refleksi suster tentang kerja sama dengan anak-anak asuh itu?

Saya tumbuh mekar di tengah orang Muslim. Di SMK Yos Sudarso Majenang, anak-anak boleh masak dan makan, bahkan tidur di situ. Yang tinggal jauh boleh tidur di sekolah bersama penjaga malam.

Justru di tengah orang Muslim, saya bisa menghadirkan cinta kasih tulus, sungguh-sungguh, dan tanpa benteng. Saya bangga. Memang, kalau berkunjung ke pegunungan, saya mencari murid, dan melihat masih banyak orang tidak punya wc sehingga buang air besar di kebun. Kesehatan pasti kurang.

Benar, 10 persen murid saya adalah dari keluarga miskin yang saya ‘tarik’ dari pegunungan dan pedesaan untuk bersekolah tanpa bayar. Kepada mereka kami sediakan rumah singgah tanpa bayar, tapi mereka masak sendiri dengan beras yang diberikan umat Katolik.

Bagaimana tanggapan tokoh Muslim di sana?

Pertama mereka menganggap SMK Yos Sudarso itu sekolah Katolik dan agamanya pasti Katolik. Tapi kini, mereka mulai terbuka, karena tahu tidaklah demikian. Buktinya, sebelum ujian sekolah, kami panggil kiai untuk berdoa. Saya wajibkan semua anak perempuan Muslim memakai jilbab.

Dalam rapat kepala sekolah, ada kepala sekolah yang mengajak saya datang ke sekolahnya. Katanya, belum ada orang seperti suster datang ke sekolahnya. “Ya sudah. Nanti saya datang bersama anak-anak saya.”

Ketika mengajar pengalaman bahagia dan sedih, seorang anak mengatakan pengalaman bahagianya adalah saat pertama kali bertemu dan melihat suster. Itu pun terjadi di masyarakat. Kalau saya memasuki gang untuk pulang ke rumah, anak-anak kecil keluar dan memanggil, suster … dalem (semoga Tuhan memberkati) … suster.***