KWI minta umat jadi pemilih cerdas, rasional, tolak politik uang, pilih kandidat beriman

0
10120
Ketua Komisi Kerawam KWI Mgr Vincentius Sensi Potokota/Foto Kawali
Ketua Komisi Kerawam KWI Mgr Vincentius Sensi Potokota/Foto Kawali

Dalam pemilihan kepala daerah diharapkan, umat Katolik “Menjadi pemilih cerdas, bertanggungjawab, dan proaktif, artinya mau meluangkan waktu untuk mengecek nama di Daftar Pemilih Tetap (DPT), datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan hak suara, dan ikut mengawasi penghitungan suara.”

Umat Katolik juga diharapkan “Memilih secara rasional, artinya mengetahui kandidat yang akan dipilih dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai media yang dipercaya, dan menolak politik uang, artinya berani menolak uang atau barang apapun yang diberikan dengan maksud agar mereka memilih calon tertentu.”

Permintaan  itu merupakan bagian dari Seruan Moral Komisi Kerawam KWI dalam Pilkada Serentak 2018 yang akan diselenggarakan 27 Juni 2018. Sebagai bagian bangsa, seruan yang ditandatangani Ketua Komisi Kerawam KWI Mgr Vincentius Sensi Potokota dan Sekretaris Eksekutif Komisi Kerawam KWI Pastor Paulus Christian Siswantoko Pr mengingatkan umat bahwa mereka “terpanggil ikut merawat dan memajukan kehidupan demokrasi yang sehat, bersih, dan bermartabat.”

Pilkada serentak di 171 daerah, tegas seruan itu, menjadi momentum untuk menghayati semboyan “100% Katolik dan 100% Indonesia” sebagaimana diajarkan oleh Mgr Albertus Soegijapranata SJ.

Saat itu, umat sebagai pemilih diminta memilih kandidat yang “beriman, mengamalkan Pancasila (Bhinneka Tunggal Ika), tegas menolak radikalisme dan segala bentuk intoleransi, memperjuangkan kepentingan umum dan aspirasi Gereja Katolik, dan mempunyai rekam jejak yang baik.”

Umat juga diminta “memilih berdasarkan suara hati, bukan karena tekanan dan pesanan tertentu” serta “peka dan peduli dengan sesama pemilih, khususnya yang mengalami disabilitas atau keterbatasan.”

Seruan moral, yang mengingatkan umat Katolik bahwa mereka terpanggil ikut merawat dan memajukan kehidupan demokrasi dan sehat, bersih dan bermartabat, juga menegaskan bahwa politik pada dasarnya baik karena sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bersama (bonum commune).

“Politik sendiri mengandung nilai-nilai luhur seperti pelayanan, pengabdian, pengorbanan, keadilan, kejujuran, ketulusan, solidaritas, kebebasan, dan tanggungjawab. Jika nilai-nilai itu dihidupi dan menjadi pegangan dalam hidup berbangsa, maka politik akan menjadi salah satu bidang kehidupan amat mulia. Politik menjadi tampak tidak baik, suram, dan kotor karena pelaku atau aktor politiknya sering mengabaikan nilai-nilai tersebut,” tulisnya.

Serun moral itu juga menegaskan bahwa umat Katolik “dipanggil dan diutus Allah untuk menjadi garam dan terang dunia” (bdk. Mat.15:13-14). Dalam konteks Pilkada, jelasnya, garam dan terang dunia dapat diupayakan dengan menjadi pemilih yang baik, bijak, dan cerdas; menjadi bagian panitia penyelenggara dalam berbagai tingkatan; menjadi kandidat yang bersaing dengan cara-cara bermartabat.

“Pilkada merupakan kesempatan untuk menghidupi nilai-nilai kristiani yang universal. Oleh karena itu, kehidupan politik harus selalu berada dalam batas-batas moral sehingga kehidupan bersama yang lebih baik akan menjadi kenyataan (bdk. Gaudium et Spes no. 74),” lanjutnya.

Maka, selain kepada pemilih, seruan itu disampaikan kepada umat Katolik sebagai kandidat dan sebagai penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP), serta ormas-ormas Katolik. “Ormas-ormas Katolik hendaknya selalu bersinergi dan bekerjasama mensukseskan pesta demokrasi tersebut.”

Para kandidat diminta berkampanye bersih tanpa mengumbar kebencian, menyebar berita bohong, dan mempolitisasi SARA; mengetahui peta persoalan di daerahnya dan memiliki solusi tepat; mempunyai komitmen untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat setempat, Gereja Katolik, dan agama lain, dan mempunyai wawasan dan keberanian memadai untuk menghadapi berbagai persoalan bangsa yang sangat memprihatinkan akhir-akhir ini seperti munculnya kelompok-kelompok radikal  di banyak daerah.

Penyelenggara pemilu diminta memahami dan melaksanakan secara konsisten undang-undang pemilu serta aturan berlaku, bekerja profesional dan netral, melayani masyarakat dan kandidat serta partai politik secara baik, memberikan informasi cukup dan akurat kepada masyarakat terkait Pilkada, dan menegakkan kode etik penyelenggara pemilu secara konsisten.

Seruan diakhiri harapan agar umat Katolik “ikut menciptakan suasana aman dan damai, sebelum, pada saat, dan sesudah pemilihan kepala daerah berlangsung dengan tidak terprovokasi oleh berbagai ajakan, ajaran, dan tawaran yang mengarah pada munculnya konflik, perpecahan, dan kekerasan dalam masyarakat. Bersikap aktif membangun komunikasi dan kerjasama dengan kelompok dan umat beragama lain karena pesta demokrasi ini menjadi tanggungjawab semua warga masyarakat.” (paul c pati)

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here