Mgr Agus bawa teologi “kampung” ke Pekan Teologi di Universitas Santo Tomas Manila

0
2318

Mgr Agus dalam simposium di Manila3

Simposium dalam rangka Pekan Teologi 2018 itu dilaksanakan oleh Fakultas Teologi, Center For Religious Studies and Ethics, dan Institutes of Religion dari Universitas Santo Tomas Manila, 26 Februari hingga 2 Maret 2018, dengan tema Church in Communion: Theology and Expression, Selain Mgr Agus, 11 narasumber lain, dan Uskup Agung Yangon, Myanmar, Kardinal Charles Maung SDB, menjadi pembicara utama.

“Saya menganggap lahir dan dibesarkan di kampung merupakan sebuah berkat. Latar belakang saya mempersiapkan saya untuk berhubungan dengan budaya dan suku saya sendiri,” kata Mgr Agus yang menjelaskan mengenai Keuskupan Agung Pontianak dan Kalimantan dengan kelompok etnis dominan yakni sukunya, suku Dayak.

Dijelaskan, rumah tradisional suku Dayak adalah Rumah Panjang (Rumah Betang), dengan panjang yang bisa mencapai 300 sampai 400 meter dan menampung ratusan orang, berfungsi sebagai tempat pertemuan warga, tempat memutuskan cara hidup, tempat menyelesaikan perselisihan warga, dan tempat memutuskan cara berhubungan dengan suku-suku tetangga, serta mempertahankan diri dari musuh.

Rumah Betang, “adalah tempat belajar dan tempat adat istiadat serta tradisi diwariskan oleh tetua adat kepada kaum muda lewat cerita, lagu, puisi, dan bahkan tato.” Di situ, lanjut uskup, ibu-ibu mengajari anak-anaknya pekerjaan rumah tangga seperti seni kuliner, pembuatan keranjang dan tenunan, dan di situ juga anak-anak belajar berburu dan berperang dari ayah mereka, misalnya cara menjebak, memukul, memanah dan menombak.

“Inilah juga tempat penyembuhan dan doa. Warga berkumpul di sini untuk berdoa sebelum menanam dan mengucapkan terima kasih setelah panen. Di sini mereka mencari penyembuhan penyakit dengan herbal dan mantra dari dukun, sebelum kedatangan misionaris dan dokter. Rumah Panjang bukan hanya rumah, tetapi simbol kehidupan bersama secara rukun,” kata Mgr Agus yang mengaku persekutuan dan kerukunan di Rumah Panjang banyak diterapkan dalam lingkungan gerejani.

Namun, meskipun Gereja memiliki sakramen-sakramen untuk merayakan kejadian-kejadian penting dalam kehidupan manusia, Mgr Agus mengaku “masih banyak umat mengikuti ritual adat untuk perayaan kelahiran, pernikahan, dan kematian.” Meskipun pemerintah memiliki mekanisme pemerintahan dan undang-undang, para kepala suku dan tetua diberi juga wewenang untuk menyelesaikan berbagai perselisihan kepemilikan dan perkawinan, serta hukuman atas kejahatan tertentu, lanjut uskup.

Para frater calon imam, tegas Mgr Agus, terus mempelajari hukum adat dan praktik tradisional itu guna melestarikan dan belajar dari kebijaksanaan para tua-tua dan juga untuk menemukan hubungannya dengan iman dan cara hidup Katolik. Pengayauan (pemenggalan kepala manusia) adalah adat atau ritual Dayak yang terkenal untuk menghadapi musuh dan memperkuat diri dengan potensi tambahan dari orang-orang yang ditaklukkan.

“Tetapi dengan datangnya misionaris, praktik itu berhenti, karena menyadari bahwa kerukunan dan perdamaian adalah jalan lain yang lebih baik untuk memastikan kesejahteraan semua orang dan bahwa penghormatan terhadap kehidupan merupakan nilai terpenting bagi semua orang. Kini mereka biasa merayakan gawai Dayak. Semua orang diundang untuk merayakannya dalam kesatuan, dan untuk bersyukur atas semua yang baik dalam budaya kita, dan atas hal-hal yang meningkatkan perdamaian dan kerukunan. Inilah persekutuan sejati yang saya pelajari dari kampung,” kata Mgr Agus.

Uskup Agung Pontianak juga mengangkat moto orang Dayak, “Adil ka ‘talino, bacuramin ka’ saruga, basengat ka ‘jubata” (Adil terhadap sesama manusia, berpedoman hidup pada surga, selalu mengingat Tuhan sebagai pemberi kehidupan) dengan menegaskan bahwa “kita semua hidup karena Tuhan yang sama.”

Dalam kehidupan sehari-hari di kampungnya, jelas uskup, tidak ada simbol berbagi yang lebih baik daripada duduk dan makan bersama. “Makanan kami di kampung sangat sederhana, terdiri dari ikan yang ditangkap di sungai, atau binatang yang diburu di hutan dan sayuran yang baru dipetik di belakang rumah. Tak ada seorang pun dibiarkan tanpa makanan. Sebelum gigitan pertama, seseorang melihat apakah setiap orang sudah punya makanan. Semua diajak duduk dan makan, serta minum.”

Mgr Agus mengajak peserta mencoba tuak Dayak dan makanan yang ditanam dan dipanen bersama. “Arti Ekaristi dengan mudah dipahami oleh orang Dayak sebagai berbagi,” kata Mgr Agus seraya menambahkan perlunya mewartakan dan mengajarkan nilai hidup bersama dalam persekutuan di Gereja berdasarkan nilai tradisional rumah panjang.

Setelah berbicara mengenai persekutuan dan kerukunan orang kampung dan tentang kebenaran prinsip-prinsip yang harus didengar di “pasar,” tempat daya tarik ideologi politik bersaing, Mgr Agus mengajak peserta mendiskusikan tentang lingkungan. “Saya mengusulkan kita untuk naik ke altar. Lingkungan itu seperti altar tempat Tuhan dan manusia saling bertemu,” tegas prelatus itu seraya melukiskan indahnya sungai terpanjang di Indonesia, Sungai Kapuas, dan hutan hujan tropis Kalimantan yang menyaingi hutan hujan Amazon, namun “sedihnya” sudah banyak dibabat oleh berbagai perusahaan multi nasional untuk perkebunan kelapa sawit.

Menurut Mgr Agus, orang Dayak sangat spiritual. Namun, terkadang mereka dituduh musyrik dan animis “karena menghormati kehadiran Tuhan dalam segala hal.” Yakin bahwa merusak alam adalah menghancurkan sakramen kehadiran-Nya, Mgr Agus menegaskan bahwa dalam simposium itu dia melihat bagaimana para biarawan Dominikan dengan indah mengungkapkan hubungan antara alam dan Sang Pencipta dalam moto mereka untuk Caleruega: “dekat dengan alam, lebih dekat kepada Tuhan.”

Orang-orang Dayak, jelas Mgr Agus, tidak memiliki tempat khusus untuk ibadah. “Hampir di mana-mana di kampung, ditemukan sesaji, di sawah, di depan sebuah pohon besar, di depan rumah, di pemakaman, dan lain-lain. Mereka mungkin tampak animistis, namun dasar praktik itu adalah rasa ilahi. Persembahan dibuat di sana sini. Pada peresmian suatu tempat, darah babi atau ayam dipersembahkan. Sebelumnya, beberapa kepala manusia pun dikorbankan. Di Kalimantan, kami berusaha mengalihkan perhatian umat beriman kepada Satu Korban yang diperlukan untuk pengampunan dosa, Satu Korban yang diperlukan dalam mengucap syukur atas setiap karunia baik yang kami terima melalui perayaan Ekaristi.”

Filosofi orang Dayak tentang “Adil ka ‘talino, bacuramin ka’ sorga, basengat ka ‘jubata,” lanjut Mgr Agus, telah mempersiapkan umatnya untuk bersatu dengan Tuhan, dengan sesama dan dengan ibu pertiwi. “Semua ciptaan berasal dari Tuhan. Kita harus hidup bersama secara harmonis. Inilah kehendak Tuhan ‘di bumi seperti di surga.’ Jadi, manifestasi Allah atas dirinya atau “teofani” telah ditemukan di alam dan manusia dan sepenuhnya diungkapkan dalam pribadi Yesus Kristus Tuhan kita. Orang Dayak bisa terkait erat iman Kristiani kita. Para mahasiswa teologi dapat lebih mengeksplorasi hubungan antara budaya lokal dan orthopraxis. Inilah teologi saya yang rendah hati dari kampung, ke pasar, naik ke altar.”

Dalam tanya jawab, Mgr Agus, yang ditemani Pastor Johanes Robini Marianto OP, menambahkan bahwa dia suka menghadiri pesta di kampung, supaya bisa bertemu orang-orang kampung. Sayangnya, “Saya kadang-kadang merasa sedih, karena nilai yang sangat berharga di kampung semakin hilang ketika orang kampung sudah pergi ke kota.”

Hal lain yang dipersoalkan uskup itu adalah ajakan menghidupkan kembali Komunitas Basis Gerejawi (KBG), padahal sejak awal itu sudah ada dalam orang kampung. “Orang kota cenderung individual. Semangat hidup bersama orang kota sebagian hilang. ‘Kan lucu, kita sudah punya nilai yang tinggal dipertahankan, mengapa sekarang harus kita rebut kembali ketika kehidupan modern hadir di tengah masyarakat?”

Dalam retret para imam di ibu kota, uskup itu membawa mereka kembali ke asalnya yakni orang kampung dengan nilai-nilai yang seharusnya memotivasi mereka. Kemudian uskup bertanya mengapa mereka meninggalkan nila-nilai kampung mereka setelah menjadi imam, dan sekarang nampak kadang-kadang seperti orang kaya baru? Lalu uskup itu menegaskan bahwa dia sering mengatakan kepada orang kampung, “Kita bisa berubah, tapi yang tidak boleh berubah adalah nilai-nilai kita.”(paul c pati)

Mgr Agus dalam simposium di Manila2zz

Mgr Agus dalam simposium di Manila5

Mgr Agus dalam simposium di Manila6

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here