Rabu, 8 Februari 2017

1
2665

najis1 

PEKAN BIASA V (H)

Santo Yohanes dari Matha; Santo Hieronimus Emilianus; Santa Yosefina Bakhita

Bacaan I: Kej. 2:4b–9.15–17

Mazmur: 104:1–2a.27–28.29bc; R:1a

Bacaan Injil: Mrk. 7:14–23

Pada suatu hari, Yesus memanggil lagi orang banyak dan berkata kepada mereka: “Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah. Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya.” [Barangsiapa bertelinga untuk mendengar hendaklah ia mendengar!] Sesudah Ia masuk ke sebuah rumah untuk menyingkir dari orang banyak, murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya tentang arti perumpamaan itu. Maka jawab-Nya: “Apakah kamu juga tidak dapat memahaminya? Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?” Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal. Kata-Nya lagi: “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinaan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.”

Renungan

Yesus kembali menyoal perkara kejujuran dan kemurnian hati. Lebih khusus lagi soal sikap hati terhadap kodrat ciptaan. Ia mengajar kepada kita bahwa bukan karena kodratnya alam ciptaan menjadi baik atau jahat, haram atau halal; melainkan karena sikap hati.

Yesus berkata, “Dari hati yang kotor akan timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinaan, keserakahan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, dan kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.”

Karena itu, Yesus mengharapkan kita agar memiliki hati yang jujur dan murni. Kejujuran dan kemurnian hati adalah landasan untuk membangun wibawa kita dan kepercayaan orang lain kepada kita. Sebagai pribadi yang jujur dan murni hati, berarti kita akan bersikap terbuka, fair, dan tidak menyembunyikan situasi diri dan maksud-maksud kita. Kita bersikap konsisten antara apa yang dipikirkan dengan apa yang dikatakan dan diperbuat, setia pada apa yang dijanjikan. Kejujuran kita kepada orang lain berawal dari kejujuran kita pada diri sendiri, pada hati nurani sendiri. Kejujuran dan kemurnian hati adalah pangkal kedamaian kita.

Ya Bapa, murnikanlah hatiku agar mampu memandang kebesaran anugerah-anugerah-Mu. Amin.

 

1 komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here