Para religius disadarkan bahwa menjadi religius berarti bersikap antaragama

0
3052

JPIC

Oleh Suster Charlie OP ***

Berbagai keprihatinan yang muncul di Indonesia mengusik Gereja untuk terlibat dalam mewujudkan perdamaian dan kelestarian alam demi keselamatan semua makhluk ciptaan. Keprihatinan yang sangat terasa dan mendesak saat ini meliputi bidang sosial dengan orang miskin, bidang kultural dengan budaya asing, bidang religius dengan agama lain, dan permasalahan seputar ekologi, terutama hubungannya dengan kerusakan lingkungan hidup.

Pluralitas agama, yang lebih mengarah pada gejala dan realitas yang tampak sebagai salah satu dampak dari keragaman kepercayaan atau keyakinan di Indonesia, menjadi perhatian kami, beberapa orang religius, dalam beberapa hari di bulan Juli.

Sebanyak 15 religius yang terdiri dari bruder dan suster dari kongregasi OSU, OP, BKK, FMM, HK, PRR, PIJ, PK, SFS, SPC, PBHK, CB, OSF, TMM, dan CSA berkumpul di Rumah Retret Panti Semedi, Sangkal Putung, Klaten, Jawa Tengah, 21-23 Juli 2016.

Kami menghadiri pertemuan bertema “To be religious is to be interreligious” (menjadi religius berarti bersikap antaragama) yang dilaksanakan oleh Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (JPIC) Ursulin yang bekerja sama dengan Pastor Heru Prakoso SJ yang sekaligus bertindak sebagai narasumber.

Pertemuan itu diharapkan membuat kami semakin memahami dan mendalami pengalaman ber-inter-religius atau berdialog antarumat beriman, khususnya antara kaum Muslim dan Katolik. Tujuannya agar kami menjadi penggerak dialog antarumat beriman dan mewujudkan toleransi hidup saat diutus ke dalam masyarakat Indonesia yang plural, yang mayoritas beragama beragama Islam.

“Kita dapat menemukan Tuhan dalam segala hal tak terbatas oleh peristiwa, ruang dan waktu. Kebangkitan Tuhan Yesus yang menampakkan diri kepada para murid di pantai, di makam, dan dalam rumah dapat menjadi inspirasi dalam menemukan Allah. Karya-karya dan peristiwa dapat menjadi sarana kita untuk menemukan Allah,” kata Pastor Heru.

Imam itu mengakui bahwa tidaklah mudah menjadi pribadi toleran dan menemukan Allah dalam segala hal. “Maka perlu kesabaran dalam berproses,” kata Pastor Heru seraya mengajak kami belajar dari Maria Magdalena dalam berproses untuk sampai menemukan Allah.

“Perjumpaan Maria Magdalena dengan Yesus melalui proses tiga tahap: bertemu malaikat dalam kubur, berjumpa dengan Yesus yang dikira tukang kebun di luar kubur, dan Yesus menyapa Maria secara personal dengan menyebut namanya ”Maria!”  (Yoh 20:24). Barulah sesudah itu Maria Magdalena tersadar bahwa dia telah menemukan Allah yang dicarinya,” jelas imam itu.

November 2015, cerita imam itu, Paus Fransiskus mengadakan perjalanan dan kunjungan ke tiga negara di Afrika. Dalam perjumpaan dengan pelbagai kelompok, baik Katolik maupun non-Katolik, Paus mengangkat tema ”Rekonsiliasi dan harapan,” yang sangat relevan untuk konteks Afrika, mengingat pelbagai peristiwa kekerasan di benua itu dalam beberapa tahun terakhir.

Dalam kunjungan itu, Paus Fransiskus berkata, “Fundamentalisme merupakan suatu penyakit bagi semua agama, selalu menjadi tragedi yang merupakan tindakan berhala, tidak religius, dan tidak memperhitungkan Allah. …Kita umat Katolik memiliki beberapa, bahkan banyak fundamentalis. Mereka percaya bahwa kebenaran mutlak dan mau menganggap pihak lain tak ternilai. Saya dapat mengatakan ini karena ini Gereja saya! Bersama-sama kita harus mengatakan “TIDAK!” kepada kebencian, balas dendam dan kekerasan, khususnya kekerasan yang menyusup atas nama agama atau atas nama Allah itu sendiri!”

Setelah mendengarkan masukan Pastor Heru, kami didampingi Pastor  Didik Cahyono SJ untuk menemukan Allah lewat pertemuan lintas agama di Pondok Pesantren Al Mutaqien. Di sana kami bertemu KH Muh Jazuly Kasmani yang biasa disapa Gus Jazuly beserta para santrinya. Kami pun berdialog dan mendengarkan cerita Gus Jazuly tentang pengalamannya bersama seorang pastor yang setia menemaninya untuk sahur di bulan puasa.

Dalam dialog, Gus Jazuly mengharapkan dan mengajak lintas agama untuk membangun bangsa dalam keperbedaan dengan saling memahami dimulai dari keluarga masing-masing. “Dialog sosial atau amal kebajikan adalah perwujudan dalam membangun persaudaraan. Kalau melakukan kebaikan- kebaikan kita tidak lagi melihat perbedaan agama, maka dalam menghadapi tantangan besar dalam keperbedaan itu, kita jalani dengan melakukan kebaikan- kebaikan secara beretika.”

Kami juga mengunjungi makam KH Muslim Rifa’i Amanipura, orang tua Gus Jazuly, yang juga mantan guru almarhum Gus Dur (mantan presiden RI). Konon beliau yang membangun Pondok Pesantren Al Mutaqien.Di makam itu ada tulisan yang membuat kami semua tertegun “JOGLO PERDAMAIAN umat manusia sedunia sebagai Pancasila sakti”. Di bawahnya tertulis slogan “Meskipun beda agama sekalipun toh, sesama hamba Allah, sesama anak cucu Eyang Nabiyullah Adam As, dan sesama penghuni NKRI Pancasila.”

Siang hari itu, kami berdialog dengan teman-teman Muslim tentang kebersamaan menciptakan suasana persaudaraan dan hidup berdampingan dalam keanekaragaman agama dan keyakinan.

Dalam evaluasinya, Pastor Heru menjelaskan, ”Hidup berdampingan bertujuan untuk menghargai dan membahagiakan satu sama lain. Kita berelasi dengan umat lain sebagai implementasi kedalaman iman yang pada hakekatnya manusia tidak dapat hidup sendiri. Jadi motivasi berelasi dengan lintas agama, bukan untuk mencari aman supaya tidak diganggu apalagi untuk mencari  keuntungan.”

Dikatakan, “Allah berelasi dengan manusia sebagai wujud solider akan kedosaan manusia. Iman mempunyai tiga dimensi. Melalui pengajaran kita memiliki pengetahuan yang kemudian kita ungkapkan dalam doa, dan kita wujudkan dalam tindakan sesuai kehendak Allah. Namun manusia kadang terjebak dalam salah satu dimensi yaitu menguasai pengetahuan dan bertindak tanpa pernah berdoa, atau sebaliknya memiliki pengetahuan tentang Allah dan berdoa tetapi tidak dipraktekkan dalam kehidupannya untuk mencintai sesama.”

Untuk memahami siapakah sesama, Pastor Heru mengajak kami belajar dari Injil Lukas yang selalu mengangkat tulisan tentang Yesus dan orang Samaria. “Ada beberapa kisah yang ditulis Lukas tentang orang Samaria yang melakukan perbuatan baik. Misalnya kisah Orang Samaria menolong orang Lewi yang dirampok dan kisahYesus menyembuhkan sepuluh orang tetapi hanya seorang Samaria yang bersyukur kepada Yesus.”

Peserta dan saya sudah kembali ke tempat tugas masing-masing. Saya pun mengingat bahwa Lukas berasal dari luar Yahudi, maka tulisannya itu secara terbuka mau menunjukan bahwa Yesus bukan hanya untuk orang Yahudi melainkan untuk menyelamatkan semua orang. Maka, saya pun harus hidup berdampingan dan mengembangkan sikap toleransi untuk mewujudkan perdamaian dalam  beranekaragaman atau kemajemukan.***

4

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here