Gereja mengakar kalau makin banyak umat terlibat dalam dinamika masyarakat

0
2615

Gereja Indonesia

 

“Siapa tokoh Katolik karismatik yang punya wibawa dan pengaruh serta disegani di Jawa Barat? Semua imam diosesan lalu berpikir dan mencari-cari, namun mereka semua tidak bisa memberikan jawaban atau menyebut sebuah nama.

Ternyata sulit menjawab pertanyaan seorang imam itu. Tak ada jawaban terdengar, tak ada nama disebut. Ada tokoh-tokoh Katolik karismatik di bidang tertentu, banyak tokoh karismatik di Gereja Katolik, namun amat sulit menyebut nama tokoh Katolik kharismatik bagi masyarakat di Jawa Barat (Jabar).

Ketua Komisi Kerawam Keuskupan Bandung Pastor Paulus Rusbani Setyawan Pr menceritakan peristiwa dalam pertemuan Unio (Persaudaraan Para Imam Diocesan) Keuskupan Bandung itu di depan wakil-wakil seksi kerawam paroki serta ormas-ormas Katolik se-Keuskupan Bandung dalam Pembekalan Kerawam se-Jabar yang dilakukan bersama Bimas Katolik Kemenag Jabar di Lembang, 12-14 Juli 2013.

Kesulitan itu bisa terjadi karena memang belum ada atau pengetahuan para imam sempit. Mereka pun mengangguk saat seorang imam berkata, “Jangan bertanya atau mencari tokoh Katolik karismatik, tapi ‘menciptakan, atau membangun suasana agar di wilayah paroki muncul tokoh Katolik karismatik.”

Dalam rangka 80 tahun Keuskupan Bandung dilakukan seminar untuk melihat pandangan masyarakat tentang Gereja Katolik. “Semua pembicara menunjuk peran sekolah dan rumah sakit Katolik yang terkenal karena mutunya. Artinya kehadiran Gereja dikenal lewat sekolah dan rumah sakit.”

Menurut Pastor Rusbani Setyawan yang akrab dipanggil Pastor Iwan, patut disyukuri karena sekolah dan rumah sakit Katolik yang menampilkan wajah Gereja itu diterima dan diapresiasi dengan baik. Namun, “apakah cukup kehadiran Gereja dikenal ‘hanya’ lewat sekolah dan rumah sakit?”

Gereja adalah persekutuan umat beriman, bukan persekutuan institusi, maka “seharusnya kehadiran Gereja dikenal lewat anggotanya, dan institusi hanyalah sarana atau pintu masuk bagi mereka ke dalam masyarakat,” lanjut imam itu yang prihatin membaca sensus keuskupan 2011 bahwa kurang dari 10% umat terlibat dalam kegiatan masyarakat. “Keterlibatannya masih terlalu sedikit. Yang 90% ke mana?”

Data lain, jelas Pastor Iwan, “Masih sedikit umat mau terlibat dalam kegiatan RT atau RW, tingkat golput umat Katolik dalam pemilu kepala daerah amat tinggi sesuai data KPU, masih sedikit orang muda peduli atau terlibat dalam kegiatan masyarakat, kegiatan sosial karitatif banyak dilakukan dan rutin, hanya ada dua anggota DPRD I Jawa Barat yang Katolik, dan umat masih asing dan phobi mendengar kata politik.

Pastor Iwan menyinggung pemahaman umat Katolik bahwa politik adalah soal kekuasaan dan kotor, “Padahal politik adalah usaha mencapai kesejahteraan bersama, kesejahteraan semua masyarakat (bonum communae).” Maka, imam itu meminta setiap orang Katolik untuk berpolitik, karena arti sesungguhnya dari politik adalah “setiap tindakan yang berhubungan dengan masyarakat.”

Karena sadar atau tidak, diakui atau tidak, bahwa umat Keuskupan Bandung masih pastor sentris, Pastor Iwan mengharapkan peran mendesak para imam untuk menyadarkan dan menggerakkan umatnya.

“Para imam penting menyadari bahwa Gereja terlibat dalam dinamika masyarakat, memiliki pengetahuan benar tentang politik dan pentingnya berpolitik, membuat kotbah berdasarkan keadaan riil masyarakat dan mendorong umat terlibat di masyarakat, serta memberi ruang untuk umat berpolitik,” kata Pastor Iwan seraya meminta umat yang sudah terlibat “berani mengajak dan melibatkan umat lain, dan  umat yang belum terlibat semakin menyadari pentingnya keterlibatan dirinya dalam masyarakat.”

Dalam pertemuan yang juga menerima masukan dari Sekretaris Eksekutif Komisi Kerawam KWI Pastor Guido Suprapto Pr serta pakar komunikasi dan pengamat politik Tjipta Lesmana, Pastor Iwan berkata, “Gereja akan mengakar dan menjadi bagian masyarakat Jawa Barat kalau semakin banyak umat Katolik, sebagai wajah Gereja, melibatkan diri dalam gerak dinamika masyarakat Jawa Barat.”***